Rabu, 28 Februari 2018

AGAMA DAN LINGKUNGAN



A. Pendahuluan
Berdasarkan pendekatan ekologis,manusia pada hakekatnya merupakan makhuk lingkungan (homo ecologius). Artinya dalam melakukan fungsi dan posisinya sebagai salah satu sub dari ekosistem. Manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk selalu mencoba mengerti akan lingkungannya. Kecenderungan seperti ini menjadi salah satu ciri utama manusia sebagai makhluk berakal sehat.
Faktor dominan dalam penggunaan akal sehat adalah situasi dan kondisi lingkungan. Dengan demikian, sebagai makhluk berakal sehat manusia berpeluan menjadi makhluk yang potensial untuk dikembangkan naluri kepeduliannya terhadap lingkungan guna mencegah dan mengurangi probem lingkungan.
Secara faktual, perilaku ekologi mansia bersifat universal. Maksudnya, perilaku ekologis bukan milik masyarakat tertentu melainkan milik seluruh manusia. Hanya saja kadarnya berbeda-beda pada setiap kelompok (komunitas). Komunitas masyarakat yang belum maju sains dan teknologinya (preindustry) tampak lebih kuat perilaku ekologis dan kearifan lingkungannya sehingga dikatakan masyarakat berimbang (equilibrium society). Sedangkan pada komunitas masyarakat maju (industrialized), sifat kontra ekologis dan ketidakarifan lingkungan jauh lebih terlihat sehingga dikatakan masyarakat tidak berimbang (unequilibrium society).
Perilaku kontra ekologis juga milik bersama. Perilaku kontra ekologis masyarakat maju lazim berbentuk pencemarn akibat penggunaan teknologi tinggi berupa limbah industri, polusi udara, dehutanisasi dan lainnya dalam skala yang relatif besar. Sedangkan pada masyarakat yang belum maju dapat berbentuk limbah domestik, rumah tangga, limbah lokal, dan lainnya dalam skala yang relatif kecil. Kementakan variasi ini disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
Pertama, nilai dan simbol sebagai faktor suprastruktur adalah bahwa setiap masyarakat memiliki nilai atau simbol ekologis yang dijunjung tinggi oleh anggotanya. Nilai atau simbol tersebut dapat bersumber dari ideologi. Atau lazim disebut suprastruktur ideologis yang terdiri dari beberapa unsur yakni ideologi umum, kepercayaan, ilmu pengetahuan, kesenian, kesusastraan dan agama.
Kedua, pranata dan perilaku sosial sebagai faktor struktur adalah bahwa setiap masyarakat memiliki institusi sosial yang mendukung perilaku sosial ekologis mereka. Kemudian direfleksikan melalui pengetahuan, kesadaran dan tindakan ekologis.
Ketiga, faktor infrastruktur adalah bentuk-bentuk sosial dasar yang berkaitan dengan upaya manusia untuk mempertahankan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur material diantaranya terdiri dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), yang terdiri dari teknologi informasi, mekanik dan bangunan yang digunakan oleh manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meskipun secara ideal, agama islam sebagai supra struktur ideologis masyarakat muslim diyakini memiliki nilai-nilai yang cukup intens dalam rekayasa lingkungan, namun secara faktual tampilannya masih bervariasi. Ada yang cukup tinggi, sedang dan rendah. Namun kategori yang disebut terakhirlah yang mewarnai mayoritas komunitas muslim.
Hal ini ditenggarai karena aset nilai ekologis Islam masih bersifat potensial tetapi belum aktual. Hal itu dikarenakan  belum dirumuskannya secara sistematis ayat-ayat Al-qur’an dan hadist dan locusnya pun bevariasi.
Upaya konseptualisasi secara internal merupakan bagian integral dari kerangka menumbuhkembangkan budaya ekologis (ecological culture) dalam  komunita Muslim yang merujuk pada nilai dan simbol keislaman. Sementara itu, secara eksternal kajian konseptualisasi mencoba menghampiri secara kritis konsep ekologi sekular yang bersifat mendudukan manusia sebagai pusat kosmos (antroposentris).

B.  Kajian Pustaka sebagai Pilihan
Kajian pemikiran ekologis dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu :
Pertama, kajian ekologi teoritis yang lazim disebut ekologi filosofis adalah kajian ekologi yang memaparkan ekologi sebagai ilmu.
Kedua, kajian ekologi terapan merupakan kajian yang difokuskan pada praktek pengelolaan lingkungan atau pengaruh pembangunan terhadap lingkungan dan wawasan pembangunan.
Ketiga, kajian ekologi korelatif adalah kajian yang lazim memfokuskan kajiannya pada keterkaitan lingkungan dengan berbagai bidang seperti dengan psikologi, sosial, budaya dan yang teristimewa dengan agama. Kajian pengkaitan lingkungan dengan agama lebih lazim dilakukan untuk menggali nilai-nilai ekologi dari berbagai agama sebagai akar spiritual religius dalam membudayakan kearifan lingkungan.

C. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Secara faktual kajian ekologi yang telah berkembang secara luas adalah didasarkan pada pendekatan perumusan ilmu profad. Sebab ekologi merupakan derivasi dari realitas rasional ekologis yang diabstraksikan kedalam konsep ekologi. Oleh karena itu, kajian ekologi lazimnya terlepas bahkan kering dari nilai-nilai profetis islam, risalah islamiah.
Implikasi pengembangan konsep ekologi sekular ditengah masyarakat religius islam dapat mengakibatkan timbulnya standar ekologis ganda. Disatu sisi ekologi sekuler tidak memberi tempat secara proporsional bagi nilai spiritual islam. Disisi lain masyarakat islam selalu mendambakan legitimasi spiritual islam. Dibawah naungan ekologi sekular masyarakat muslim mendapat intimidasi politis, ekonomis atau ideologis dengan dalih berperilaku kontra ekologis.
Permasalahan yang akan dijawab dalam buku ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konseptualisasi teologi lingkungan ?
2. Bagaimana konsep teologis hubungan tuhan dengan lingkungan ?
3. Bagaimana konsep teologi hubungan manusia dengan lingkungan ?
Berdasarkan rumusan dan identifikasi permasalahan diatas maka yang menjadi sentral permasalahan dalam buku yang berjudul “Agama Ramah Lingkungan” adalah bagaimanakah sesungguhnya konsep teologi lingkungan islam. Dan bagaimana terapannya dalam kehidupan lingkungan kedepan.

D. Kerangka Teori
Teori Dominasi Lingkungan, Environmental Determinism
Secara substansial teori ini  merumuskan keyakinan bahwa seluruh aspek budaya dan perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan.
Donald L. Hardesty menuturkan bahwa teori determinisme lingkungan merupakan tema yang paling menggelitik sebab teori ini berkeyakinan bahwa lingkungan fisik memainkan peran dominan sebagai pembantu utama perilaku manusia. Teori determinisme lingkungan didasarkan pada asumsi bahwa dalam tubuh manusia terdapat empat komponen dasar yakni api, bumi, air dan darah.
Montesqueieu (Prancis) menerapkan teori determinisme lingkungan dalam pengkajian agama. Dia menyatakan bahwa iklim panas menciptakan agama menjadi pasif. Sebaliknya, iklim dingin cenderung menciptakan yang agresif. Karena udara panas cenderung membentuk intelektualitas berfikir rendah, sedangkan iklim dingin sangat cocok membentuk intelektualitas berfikir yang tinggi.
Karl Mark, seorang filsuf sosial mengkritik teori determinisme lingkungan dan mengajukan teori baru yakni teori determinisme teknologi (technological determinism). Artinya bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh teknologi yang melingkunginya.


Teori Kemungkinan, Possibilism Theory
Pada dasawarsa 1930-an teori possibilisme mulai diperkenalkan oleh Frans Boas sebagai kritik terhadap teori determinisme. Sehingga teori ini dikenal sebagai teori antienvironmental. Teori ini berkeyakinan bahwa lingkungan berperan penting untuk menjelaskan kecocokan untuk budaya tertentu dengan lingkungannya dan ketidakcocokannya dengan lingkungan yang lain.
Teori possibilisme memberikan nilai tambah bagi konsep wilayah budaya. Konsep wilayah budaya merupakan moderasi antara determinisme lingkungan dengan determinisme teknologi. Konsep wilayah budaya berkeyakinan bahwa “budaya dan teknologi dibentuk oleh lingkungan, tetapi bukan disebabkan oleh lingkungan”. Artinya lingkungan berposisi sebagai pembatas kuat bagi pengembangan budaya dan teknologi. Hanya saja budaya dan teknologi terbentuknya bukan disebabkan oleh lingkungan. Singkatnya, teori possibilisme berkeyakinan bahwa lingkungan mungkin mempegaruhi budaya dan perilaku manusia dan mungkin tidak mempengaruhi.
Teori Ekologi Budaya, The Cultural Ecology
Teori determinisme dan teori possibilisme merupakan turunan dari pandangan aristoteles tentang hubungan antara manusia dengan lingkungan. Inti dari dua teori tersebut adalah penekanan pengaruh lingkungan pada budaya dan perilaku manusia. Kedua teori tersebut saling bertolak belakang. Oleh karena itu, ditawarkan teori non aristotelian, tetapi teori yang berbasis ekologi, yaitu teori ekologi budaya untuk menjembatani kedua teori tersebut.
Teori ekologi budaya diperkenalkan oleh Julian H. Steward pada dasawarsa 1930-an. Inti teori ini adalah lingkungan dan budaya bukan dua hal yang terpisah melainkan merupakan adonan yang diproses melalui permainan dialektika yang disebut umpan balik atau proses timbal balik. Dengan kata lain, hubungan manusia dan lingkungan adalah setara, suatu saat dan suatu tempat lingkungan berperan aktif mempengaruhi budaya dan perilaku manusia dan disaat serta tempat yang berbeda justru manusia yang mempengaruhi lingkungan.
Selanjutnya Marvin Harris (1966) berkesimpulan bahwa keyakinan agama dipengaruhi oleh lingkungan. Kesimpulan demikian didasarkan pada keyakinan agama hindu di India merupakan satu-satunya agama yang peduli pada sapi karena agama tersebut menganggap suci terhadap sapi.
Teori Dialektika Ekologis Islam
Mungkin ada benarnya kesimpulan Marvin Harris. Hanya saja, kesimpulan demikin belum cukup representatif. Sebab, disatu sisi agama dipengaruhi oleh lingkungan dan disisi lain agama mempengaruhi lingkungan. Oleh karena itu, ada agama ramah lingkungan adalah agama yang mengajarkan tentang kearifan lingkungan. Dan ada juga agama perusak lingkungan adalah agama yang membolehkan mengeksploitasi lingkungan untuk kepentingan manusia. Berkaitan dengan perumusan konsep agama yang ramah lingkungan, tampaknya teori dialektika ekologi islam dapat dijadikan sebagai pengurainya.
Teori dialektika ekologi islam dirumuskan melalui proses dialektis antara nilai-nilai spiritual religius islam dengan nilai-nilai ekologis. Adapun proses dialektika tersebut melalui tiga tahap yaitu internalisasi, objektivikasi dan eksternalisasi.

E. Tujuan dan Signifikasi
Secara teoritis penulisan buku ini bertujuan untuk merumuskan secara konsepsional dan komprehensif tentang ekoteologi islam dengan relevansi untuk menyantuni tolok ukur ganda, dualisme dan perilaku mendua dalam tampilan ekologis masyarakat islam.
Dengan demikian, secara konseptual hasi kajian ini memiliki signifikasi sebagai berikut :
Pertama secara praktis kajian ini memberikan masukan bagi penentu kebijakan pembangunan dalam memangku amanat pembangunan berkelanjutan.
Kedua secara operasional kjian ini memberikan panduan perilaku berperikehidupan berkeseimbangan bagi komunitas masyarakat luas umumnya dan komunitas muslim khususnya.

F. Pendekatan dan Metodologi Kajian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interdisipliner hasil racikan Noeng Muhadjir yang disesuaikan. Yakni mengkaji suatu persoalan dengan kacamata dua atau lebih disiplin, kemudian hasilnya dirumuskan dalam satu konsep yang utuh menyeluruh. Kelebihan kajian yang menggunakan pendekatan interdisipliner antara lain adalah dapat menghasilkan rumusan kajian yang memiliki kebenaran multidimensi.
Adapun kerangka kerja metodologis yang digunakan untuk menyelesaikan penulisan buku ini adalah :
Pertama, melacak data tentang isu yang dikembangkan dalam kaedah ekologis yang tertuang dalam buku-buku kajian ekologi khususnya ekologi teoritis. Data-data tersebut dipilih dan dipilah berdasarkan pada relevansi dan akurasinya pada issue.
Kedua, data yang berhasil dikumpulkan itu diklasifikasikan berdasarkan kesamaan issue pokok. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisis berdasarkan prinsip kerja analisis isi.
Ketiga, data yang sudah dianalisis selanjutnya diturunkan dan sirumuskan dalam satu konsep. Perumusan konsep ini melalui proses konsultasi bolak-balik antara pendekatan religius islami dengan pendekatan ekologi.
Keempat, merumuskan konsep final tentang ekoteologi dengan pendekatan interdisipliner yaitu memuat disiplin religius islami sekaligus disiplin ekologi.

G. Teknik dan Sistematika Penulisan
Secara umum, teknik penulisan buku ini mengacu berdasarkan bab per bab (judul dan tematikal) dengan tujuan agar masalah yang dibahas menjadi tuntas. Disamping itu juga untuk mempermudah pembacaan secara khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar