NAMA : MOHAMAD YASIR
NIM : 1210105067
SOSIOLOGI
1.
Tasawuf Sunni
Tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan
pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Tokoh tokoh yang menonjol pada masa ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi dan
al-Ghazali. Mereka membawa tasawuf kearah aliran sunni. Dengan demikian, pada
abad kelima Hijriyah ini, tasawuf sunni berada pada posisi yang menentukan yang
memungkinkannya tersebar luas di kalangan dunia islam dan membuat fondasinya
terpancang begitu dalam untuk jangka lama pada berbagai masyarakat islam. Al-Qusyairi
(w. 465 H) adalah salah seorang tokoh utama sufi yang kedudukannya demikian
penting, mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf abad ketiga dan
keempat Hijriyah yang membuat terpeliharanya pendapat dan khasanah tasawuf pada
masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis. Karya dari al-Qusairi yang
terkenal adalah al-Risalah al-Qusyairiyah. Al-Harawi dipandang sebagai
penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang
terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti al-Busthami dan
al-Hallaj. beliau juga seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan yang
mirip dengan teori al-Junaid. Karyanya yang paling terkenal adalah Manazil
al-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin. Dalam karyanya yang ringkas tersebut,
beliau menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah sufi, dimana
tingkatan-tingkatan itu menurutnya mempunyai awal serta akhir. Dalam
islam,al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf sunni, yakni
tasawuf yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga berdasarkan
kehidupan yang asketis,kehidupan yang sederhana, dan pendidikan maupun
pembinaan jiwa. Karya al-Ghazali yang paling terkenal adalah Ihya’ ‘Ulum
al-Din. Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi
perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan penulisan kitab-kitab tasawuf di
sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qulbi Fi Mu’amalatil Mahbub,
yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky [meninggal di baghdad tahun 386 H].
Dalam pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut
menggunakan sistem tarekat, sebagaimana yang dirintis oleh para ulama tasawuf
pendahulunya. Sitem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap
murid-muridnya yang bersifat teoritas serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya
yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf. Sistem pengajaran tasawuf yang
sering disebut tarekat, diberi nama yang sering dinisbatkan kepada nama
penciptanya [gurunya], atau sering pula dinisbatkan kepada lahiarnya kegiatan
tarekat itu.
2.
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah laku atau
saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku
manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagau sebuah
tatanan dasar untuk menjaga akhlaq manusia, atau dalam bahasa sosialnya yaitu
moralitas masyarakat. Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi marupakan kajian ilmu
yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori
sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu
kehidupan manusia.didalam diri manusia juga ada potensi-potensiatau
kekuatan-kekuatan yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan.
Ada juga yang disebut dengan nafsuyang cenderung kepada keburukan. Jadi tasawuf
akhlakqi akan berkonsentrasi pada teori-teori perilaku dan perbaikan akhlaq.
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman
klasik hingga modern sering digandrungi orang karena penampilan paham yang
tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam
terutama di negara yang dominan bermadzhab syafi’i. Adapun tokoh dari tasawuf
akhlaqi ini dianntaranya Hasan Al-Bashri (21-110 H), Al-Muhasibi (165-243 H), Al-Qusyairi
(376-465 H), dan Al-Ghazali (450-505 H)
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain :
v Melandaskan diri pada Al-qur’an dan As-Sunnah
v Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat
v Lebih bersifat mengajarkan dualisme hubungan antara Tuhan
dan manusia. Dualisme disini adalah ajaran yang mengakui bahwameskipun manusia
dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda
diantara keduanya. Sedekat apapun manusia dekat dengan Tuhan tidak lantas dapat
menyatu dengan Tuhan.
v Kesinambungan
hakikat dengan syari’at lebih terkonsentrasipada soal pembinaan, pendidikan
akhlaq dan pengobatan jiwa dengan carariyadhah (latihan mental).
3.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf
nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dan visi rasional sebagai pengasasnya. Tasawuf filosofis menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para
tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak itu tsaswuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di
kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.
Pemaduan antara tasawuf dan filsafat telah membuat ajaran-ajaran tasawuf
filosofis bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti
Yunani, Persia, India, dan agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai
tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar
belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang
telah meluas pada waktu itu tetap berusaha menjaga kemandirian
ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat
Islam. Sikap ini dapat menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filosofis
begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam
kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi filsafat yang maknnya
telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.
Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh
tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (dari Cardova, Andalusia; w.319/1931). Ia
adalah filosof pertama yang muncul di Andalusia dan sekaligus ia disebut
sebagai filosof sufi pertama di dunia Islam. Ia menganut paham emanasi Plotinus
(w. 270 M) Tingkatan-Tingkatan wujud yang memancar dari Tuhan, dalam pahamnya,
adalah materi pertama yang bersifat rohaniyah, kemudian akal universal, diikuti
jiwa universal, kemudian natur universal, dan terakhir materi kedua yang
bersifat murakkab [tersusun]. Menurutnya, melalui jalan tasawuf, manusia dapat
melepaskan jiwanya dari belengu penjara badan, dan memperoleh karunia Tuhan.
Itulah makrifat yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut paham
bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat rohaniah spiritual.
Sufi kedua yang juga berpengetahuan luas dalam
bidang filsafat, adalah uhrawandi Al-Maqtul (dari Suhrawandi, Persia; dibunuh
di Aleppo pada 587/1191) Ia juga menganut paham emanasi Al-Farabi atau Ibn Sina.
Tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaannya pada pengajaran Ibn Arabi (sufi
Andalusia, wafat di Damaskus pada 638/1240). Dengan pengetahuannya yang amat
kaya, baik dalam lapangan keislaman maupun dalam lapangan filsafat, ia berhasil
membuat karya tulis yang luar biasa banyaknya [di antaranya, futuhat
Al-Makkiyah dan Fushuh Al-Hikam]. Hampir semua praktik, pengajaran dan ide-ide
yang berkembang dikalangan kaum sufi diliputinya dengan penjelasan-penjelasan
yang memadai. Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang kesatuan wujud (wahdah
al-wujud). Menurutnya, wujud itu hanyalah satu; itulah wujud yang berdiri
dengan dirinya sendiri. Itulah Yang Mahabenar (Al-Haqq) atau Tuhan. Alam yang
banyak ini tidaklah berwujud dengan wujud alam sendiri, tetapi alam ini
berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian
bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud
dengan wujud Tuhan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam
adalah satu, buakn dua atau banyak. Alam yang banyak dan beragam ini merupakan
manifestasi atau penampakan diri wujud yang satu itu.
4.
Tasawuf Syi’i
Tasawuf aliran ini didasarkan atas ketajaman
pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan. Kaum
Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikit Ali bin Abi Thalib.
Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung
kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawiyyah bin Abu Sufyan), para pendukung
fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan
persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran
semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara
Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika
itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran
kefilsafatan juga sudah berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah
Islam lainnya. Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau
melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat
Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah
dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte
Isma’iliyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyah inilah yang menyatakan terjadinya
hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini
terdapat keserupaan, khususnya dalam persoalan “qhutb” dan “abdal”. Bagi para
sufi filosof, qhutb adalah puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan
perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan
doktrin aliran Isma’iliyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga, tentang
pakaian compang-camping yaitu disebut-sebut berasal dari Imam Ali.
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan Sunni dalam persoalan tasawuf. Dengan alasan pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang dikenal dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan Sunni dalam persoalan tasawuf. Dengan alasan pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang dikenal dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Di dalam tradisi Syi’ah, dua aliran tasawuf akhlaqi
dan falsafi juga diadopsi. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini.
Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushul
Hikam, tetapi orang Syi’ah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali.
Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sunni. Bahkan,
banyak juga orang Syi’ah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan
tasawuf ‘amali.
Di sisi lain, Ath-Thabathaba’i mencoba menjelaskan
bahwa tasawuf pada dasarnya berasal dari Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu
makrifat atau tasawuf seperti diamati pada masa kini, mula-mula timbul dalam
dunia Sunnah kemudian di kalangan kaum Syi’ah. Orang yang menyaakan dsecara
terbuka sebagai sufi dan penganut ilmu makrifat, dan diakui sebagai mursyid
atau guru rohani dari tarekat orang-orang sufi, dalam bidang fiqh Islam tampaknya
mengikuti faham Sunni. Banyak mursyid yang mengikuti mereka dan menyebarkan
ajaran tarekat yang juga pengikut Sunni dan fiqh. Walaupun begitu, para mursyid
ini menarik mata rantai silsilah kerohanian mereka, yang dalam kehidupan rohani
seperti silsilah keturunan dari seseorang, melalui mursyid-mursyid mereka yang
terdahulu kepada Ali, juga hasil kasysyaf [vision] dan ilham mereka, seperti
diriwayatkan, kebanyakan memuat kebenaran mengenai keesaan Ilahi dan martabat
kehidupan rohani, yang terdapat dalam ucapan-ucapan Ali dan para Imam Syi’ah
lainnya.
Hal ini bisa kita lihat, jika tak terpengaruh oleh
beberapa ungkapan tajam dan kadang-kadang mengejutkan dari para guru tasawuf
ini dan merenungkan kesekuruhan isi ajaran-ajaran mereka dengan tenang dan
sabar. Kewalian sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian yang dianggap
oleh para sufi sebagai kesempurnaan manusia, adalah suatu keadaan yang menurut
kepercayaan Syi’ah dipunyai sepenuhnya oleh Imamdan melalui pancaran wujudnya
bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Dan puncak kerohanian [quthub]
yang kehadirannya dianggap perlu oleh semua kaum sufi di sepanjang zaman
sebagaimana juga sifat-sifatyang dikaitkan dengannya̶ ̶ ̶ ada pertaliannya
dengan konsepsi kaum Syi’ah mengenai Imam. Sesuai dengan ucapan ahlul bait,
imam, atau menurut istilah kaum sufi, “Manusia Universal”, adalah manifestasi
nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian terhadap kehidupan dan perbuatan
manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata dengan mempertimbangkan knsepsi kaum
Syi’ah mengenai walayat, bahwa dari sudut pandangan bentuk lahiriah agama,
mereka mengikuti mazhab fiqh Sunni.
Perlu disebutkan di sisni bahwa dalam uraian-uraian
Sunni klasik kadang-kadang dikatakan bahwa metode kerohanian dari thariqah atau
cara-cara yang dapat menyampaikan seseorang pada pengetahuan dan kesadaran
tentang dirinya tidak bisa diterangkan melalui bentuk-bentuk dan ajaran yang
lahir dari Syari’at. Bahkan, sumber-sumber bahwa pribadi-pribadi muslim sendiri
menemukan berbagai metode dan amal, yang kemudian diteriama Tuhan, seperti
halnya kehidupan biara dalam agama Nashrani. Oleh karena itu, para mursyid
menyusun amalan-amalan tertentu yang dianggap perlu dalammetode kerohanian,
seperti bentuk upacara penerimaan murid oleh mursyid, rinci-rinci cara yang di
dalamnya dzikir-dzikir diajarkan kepada sang murid baru bersama pengenalan
jubah kepadanya, dan pengguan musik, nyanyian dan cara-cara lain yang
menyebabkan fana’(ekstase) selama mentebutkan nama-nama Tuhan.
5.
Thareqat
Pada mulanya thariqat itu belum
ada dalam agama Islam, akan tetapi, untuk memasuki dunia shufi atau tashawuf
memerlukan suatu cara atau jalan agar dapat mencapai tujuan utama yang ingin
dicapai seseorang dalam lapangan tashawuf. Dari situ maka timbullah cara
pendakian dari suatu maqam ke maqam lainnya yang disebut thariqat.
Timbulnya thariqat dalam tasyawuf
pada mulanya disebabkan oleh adanya pengalaman dan pandangan para tokoh shufi
yang beraneka macam meskipun pada hakkikatnya bertujuan sama. Jalan yang mereka
tempuh untuk mencapai tujuan antara satu dengan yang lainnya berlainan,termasuk
juga berbeda dengan yang ditempuh oleh ulama’ salaf, mutakallimun, dan para
filosof.
Dalam hal tingkah laku
orang-orang sufi, terdapat ciri-ciri yang sekaligus merupakan sifat dari
mereka. Sebagaimana uraian tokoh shufi terkenal Abu
Hafas Syihabuddin Umar bin Muhammad bin Abdillah bin ‘Amawih As
Suhrawardi yang mengatakan bahwa tingkah laku orang mutashawwifin ada dua
sebagaimana terkandung dalam Al-quran (Q.S. Syura:13). Keadaan yang pertama
adalah mahbubun-muroodun, yaitu orang yang dicintai dan di kehendaki tuhan.
Yang kedua adalah jalannya orang yang disebut muhibbun muriddun, yaitu
orang-orang yang cinta pada Allah dan menyiapkan dirinya menuju jalan Allah.
Selanjutnya thariqat atau jalan
untuk memasuki tasawuf ada beberapa cara. Oleh karena kaum shufi dalam mencapai
ma’rifat tidak dari kitab dan guru, melainkan dnegan menjalankan dan
melaksanakan tashawuf dengan segala latihan, maka thariqat yang ditempuh
adalah:
a. Tajarrud, yaitu melepaskan diri
dari godaan dan ikatan dunia fana’ ini sebab dunia selalu melalaikan serta
mengganggu manusia dalam beribadah kepada Allah.
b. Uzlah, yaitu menyisihkan diri
dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri dari simpang siur pergaulan
dunia.
c. Faqr, yaitu tiada mempunyai
apa-apa dalam kategori hitungan dunia.
d. Dawamus sukut, yaitu tiada
berkata kata yang tiada bermanfaat.
e. Qilatul akli/dawamus shoum,
maksudnya sedikit makan inklusif minum.
f. Dawamus sahr/qiyamullail,
maksudnya senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan memperbanyak berdikir,
tashbih, tahlil, dan dzikir-dzikir lainnya. Safar, yaitu pergi berkelana, tana
membaw bekal apa-apa. Di sini dimaksudkan untuk menyempurnakan ilmu dari ajaran
thariqat yang diberikan gurunya.
6. Kemunduran tasawuf abad 8 H
Pada
abad ke 8 ini tasawuf mengalami kemunduran yang disebabkan oleh konflik
internal tasawuf sendiri. Selain itu seluruh dunia Islam bagian timur dan
tengah sudah dikuasai bangsa Tartar dari mongol, sedangkan bagian barat sudah
dikuasai oleh Nasrani dari Eropa. Namun hal ini tidak menurunkan semangat para
ahli tasawuf, terbukti dengan masih adanya beberapa ahli tasawuf yang melakukan
kegiatan tarekat dan menulis beberapa kitab. Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada
abad ini antara lain :
v Ibnu Taymiyyah (wafat 728 H), mengembangkan madzhab
hanbali dan menolak taklid, kurafat, maupun bid’ah.
v Ibnu ‘Ataillah
Al-Sukandari (wafat 709 H), pengikut tarekat shajiliyyah.
v Ibnu Al-Qayyim Al-jawziyyah (wafat 751 H), mewarisi
ajaran dari Ibnu Taymiyyah.
v Bahaw Al-Din Al-Naqshabandi (wafat 791 H), mengamalkan
tarekat naqshabandiyyah.
v Abdu Al-KarimAl-_jilli (wafat 820 H), pengikut ajaran
wahdatul wujud.