Senin, 21 Juli 2014

ringkasan materi tasawuf 2



NAMA            : MOHAMAD YASIR
NIM                : 1210105067
SOSIOLOGI
1.      Tasawuf Sunni
Tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Tokoh tokoh yang menonjol pada masa ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi dan al-Ghazali. Mereka membawa tasawuf kearah aliran sunni. Dengan demikian, pada abad kelima Hijriyah ini, tasawuf sunni berada pada posisi yang menentukan yang memungkinkannya tersebar luas di kalangan dunia islam dan membuat fondasinya terpancang begitu dalam untuk jangka lama pada berbagai masyarakat islam. Al-Qusyairi (w. 465 H) adalah salah seorang tokoh utama sufi yang kedudukannya demikian penting, mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf abad ketiga dan keempat Hijriyah yang membuat terpeliharanya pendapat dan khasanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis. Karya dari al-Qusairi yang terkenal adalah al-Risalah al-Qusyairiyah. Al-Harawi dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti al-Busthami dan al-Hallaj. beliau juga seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan yang mirip dengan teori al-Junaid. Karyanya yang paling terkenal adalah Manazil al-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin. Dalam karyanya yang ringkas tersebut, beliau menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah sufi, dimana tingkatan-tingkatan itu menurutnya mempunyai awal serta akhir. Dalam islam,al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf sunni, yakni tasawuf yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga berdasarkan kehidupan yang asketis,kehidupan yang sederhana, dan pendidikan maupun pembinaan jiwa. Karya al-Ghazali yang paling terkenal adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din. Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan penulisan kitab-kitab tasawuf di sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qulbi Fi Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky [meninggal di baghdad tahun 386 H]. Dalam pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat, sebagaimana yang dirintis oleh para ulama tasawuf pendahulunya. Sitem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoritas serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf. Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang sering dinisbatkan kepada nama penciptanya [gurunya], atau sering pula dinisbatkan kepada lahiarnya kegiatan tarekat itu.
2.      Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagau sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlaq manusia, atau dalam bahasa sosialnya yaitu moralitas masyarakat. Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi marupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.didalam diri manusia juga ada potensi-potensiatau kekuatan-kekuatan yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsuyang cenderung kepada keburukan. Jadi tasawuf akhlakqi akan berkonsentrasi pada teori-teori perilaku dan perbaikan akhlaq.
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik hingga modern sering digandrungi orang karena penampilan paham yang tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam terutama di negara yang dominan bermadzhab syafi’i. Adapun tokoh dari tasawuf akhlaqi ini dianntaranya Hasan Al-Bashri (21-110 H), Al-Muhasibi (165-243 H), Al-Qusyairi (376-465 H), dan Al-Ghazali (450-505 H)
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain :
v  Melandaskan diri pada Al-qur’an dan As-Sunnah
v  Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat
v  Lebih bersifat mengajarkan dualisme hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme disini adalah ajaran yang mengakui bahwameskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda diantara keduanya. Sedekat apapun manusia dekat dengan Tuhan tidak lantas dapat menyatu dengan Tuhan.
v   Kesinambungan hakikat dengan syari’at lebih terkonsentrasipada soal pembinaan, pendidikan akhlaq dan pengobatan jiwa dengan carariyadhah (latihan mental).
3.      Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Tasawuf filosofis menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu tsaswuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat telah membuat ajaran-ajaran  tasawuf filosofis bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filosofis begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi filsafat yang maknnya telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.
Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (dari Cardova, Andalusia; w.319/1931). Ia adalah filosof pertama yang muncul di Andalusia dan sekaligus ia disebut sebagai filosof sufi pertama di dunia Islam. Ia menganut paham emanasi Plotinus (w. 270 M) Tingkatan-Tingkatan wujud yang memancar dari Tuhan, dalam pahamnya, adalah materi pertama yang bersifat rohaniyah, kemudian akal universal, diikuti jiwa universal, kemudian natur universal, dan terakhir materi kedua yang bersifat murakkab [tersusun]. Menurutnya, melalui jalan tasawuf, manusia dapat melepaskan jiwanya dari belengu penjara badan, dan memperoleh karunia Tuhan. Itulah makrifat yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut paham bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat rohaniah spiritual.
Sufi kedua yang juga berpengetahuan luas dalam bidang filsafat, adalah uhrawandi Al-Maqtul (dari Suhrawandi, Persia; dibunuh di Aleppo pada 587/1191) Ia juga menganut paham emanasi Al-Farabi atau Ibn Sina. Tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaannya pada pengajaran Ibn Arabi (sufi Andalusia, wafat di Damaskus pada 638/1240). Dengan pengetahuannya yang amat kaya, baik dalam lapangan keislaman maupun dalam lapangan filsafat, ia berhasil membuat karya tulis yang luar biasa banyaknya [di antaranya, futuhat Al-Makkiyah dan Fushuh Al-Hikam]. Hampir semua praktik, pengajaran dan ide-ide yang berkembang dikalangan kaum sufi diliputinya dengan penjelasan-penjelasan yang memadai. Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya, wujud itu hanyalah satu; itulah wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri. Itulah Yang Mahabenar (Al-Haqq) atau Tuhan. Alam yang banyak ini tidaklah berwujud dengan wujud alam sendiri, tetapi alam ini berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam adalah satu, buakn dua atau banyak. Alam yang banyak dan beragam ini merupakan manifestasi atau penampakan diri wujud yang satu itu.
4.      Tasawuf Syi’i
Tasawuf aliran ini didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan. Kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikit Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawiyyah bin Abu Sufyan), para pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya. Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini terdapat keserupaan, khususnya dalam persoalan “qhutb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, qhutb adalah puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Isma’iliyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga, tentang pakaian compang-camping yaitu disebut-sebut berasal dari Imam Ali.
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan Sunni dalam persoalan tasawuf. Dengan alasan pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang dikenal dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Di dalam tradisi Syi’ah, dua aliran tasawuf akhlaqi dan falsafi juga diadopsi. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushul Hikam, tetapi orang Syi’ah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sunni. Bahkan, banyak juga orang Syi’ah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.
Di sisi lain, Ath-Thabathaba’i mencoba menjelaskan bahwa tasawuf pada dasarnya berasal dari Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu makrifat atau tasawuf seperti diamati pada masa kini, mula-mula timbul dalam dunia Sunnah kemudian di kalangan kaum Syi’ah. Orang yang menyaakan dsecara terbuka sebagai sufi dan penganut ilmu makrifat, dan diakui sebagai mursyid atau guru rohani dari tarekat orang-orang sufi, dalam bidang fiqh Islam tampaknya mengikuti faham Sunni. Banyak mursyid yang mengikuti mereka dan menyebarkan ajaran tarekat yang juga pengikut Sunni dan fiqh. Walaupun begitu, para mursyid ini menarik mata rantai silsilah kerohanian mereka, yang dalam kehidupan rohani seperti silsilah keturunan dari seseorang, melalui mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada Ali, juga hasil kasysyaf [vision] dan ilham mereka, seperti diriwayatkan, kebanyakan memuat kebenaran mengenai keesaan Ilahi dan martabat kehidupan rohani, yang terdapat dalam ucapan-ucapan Ali dan para Imam Syi’ah lainnya.
Hal ini bisa kita lihat, jika tak terpengaruh oleh beberapa ungkapan tajam dan kadang-kadang mengejutkan dari para guru tasawuf ini dan merenungkan kesekuruhan isi ajaran-ajaran mereka dengan tenang dan sabar. Kewalian sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian yang dianggap oleh para sufi sebagai kesempurnaan manusia, adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syi’ah dipunyai sepenuhnya oleh Imamdan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Dan puncak kerohanian [quthub] yang kehadirannya dianggap perlu oleh semua kaum sufi di sepanjang zaman sebagaimana juga sifat-sifatyang dikaitkan dengannya̶ ̶ ̶ ada pertaliannya dengan konsepsi kaum Syi’ah mengenai Imam. Sesuai dengan ucapan ahlul bait, imam, atau menurut istilah kaum sufi, “Manusia Universal”, adalah manifestasi nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian terhadap kehidupan dan perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata dengan mempertimbangkan knsepsi kaum Syi’ah mengenai walayat, bahwa dari sudut pandangan bentuk lahiriah agama, mereka mengikuti mazhab fiqh Sunni.
Perlu disebutkan di sisni bahwa dalam uraian-uraian Sunni klasik kadang-kadang dikatakan bahwa metode kerohanian dari thariqah atau cara-cara yang dapat menyampaikan seseorang pada pengetahuan dan kesadaran tentang dirinya tidak bisa diterangkan melalui bentuk-bentuk dan ajaran yang lahir dari Syari’at. Bahkan, sumber-sumber bahwa pribadi-pribadi muslim sendiri menemukan berbagai metode dan amal, yang kemudian diteriama Tuhan, seperti halnya kehidupan biara dalam agama Nashrani. Oleh karena itu, para mursyid menyusun amalan-amalan tertentu yang dianggap perlu dalammetode kerohanian, seperti bentuk upacara penerimaan murid oleh mursyid, rinci-rinci cara yang di dalamnya dzikir-dzikir diajarkan kepada sang murid baru bersama pengenalan jubah kepadanya, dan pengguan musik, nyanyian dan cara-cara lain yang menyebabkan fana’(ekstase) selama mentebutkan nama-nama Tuhan.
5.      Thareqat
Pada mulanya thariqat itu belum ada dalam agama Islam, akan tetapi, untuk memasuki dunia shufi atau tashawuf memerlukan suatu cara atau jalan agar dapat mencapai tujuan utama yang ingin dicapai seseorang dalam lapangan tashawuf. Dari situ maka timbullah cara pendakian dari suatu maqam  ke maqam lainnya yang disebut thariqat.
Timbulnya thariqat dalam tasyawuf pada mulanya disebabkan oleh adanya pengalaman dan pandangan para tokoh shufi yang beraneka macam meskipun pada hakkikatnya bertujuan sama. Jalan yang mereka tempuh untuk mencapai tujuan antara satu dengan yang lainnya berlainan,termasuk juga berbeda dengan yang ditempuh oleh ulama’ salaf, mutakallimun, dan para filosof.
Dalam hal tingkah laku orang-orang sufi, terdapat ciri-ciri yang sekaligus merupakan sifat dari mereka. Sebagaimana uraian tokoh shufi terkenal Abu Hafas  Syihabuddin Umar bin Muhammad bin Abdillah bin ‘Amawih As Suhrawardi yang mengatakan bahwa tingkah laku orang mutashawwifin ada dua sebagaimana terkandung dalam Al-quran (Q.S. Syura:13). Keadaan yang pertama adalah mahbubun-muroodun, yaitu orang yang dicintai dan di kehendaki tuhan. Yang kedua adalah jalannya orang yang disebut muhibbun muriddun, yaitu orang-orang yang cinta pada Allah dan menyiapkan dirinya menuju jalan Allah.
Selanjutnya thariqat atau jalan untuk memasuki tasawuf ada beberapa cara. Oleh karena kaum shufi dalam mencapai ma’rifat tidak dari kitab dan guru,  melainkan dnegan menjalankan dan melaksanakan tashawuf dengan segala latihan, maka thariqat yang ditempuh adalah:
a.       Tajarrud, yaitu melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia fana’ ini sebab dunia selalu melalaikan serta mengganggu manusia dalam beribadah kepada Allah.
b.      Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri dari simpang siur pergaulan dunia.
c.       Faqr, yaitu tiada mempunyai apa-apa dalam kategori hitungan dunia.
d.      Dawamus sukut, yaitu tiada berkata kata yang tiada bermanfaat.
e.       Qilatul akli/dawamus shoum, maksudnya sedikit makan inklusif minum.
f.       Dawamus sahr/qiyamullail, maksudnya senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan memperbanyak berdikir, tashbih, tahlil, dan dzikir-dzikir lainnya. Safar, yaitu pergi berkelana, tana membaw bekal apa-apa. Di sini dimaksudkan untuk menyempurnakan ilmu dari ajaran thariqat yang diberikan gurunya.
                    
6.      Kemunduran tasawuf abad 8 H
Pada abad ke 8 ini tasawuf mengalami kemunduran yang disebabkan oleh konflik internal tasawuf sendiri. Selain itu seluruh dunia Islam bagian timur dan tengah sudah dikuasai bangsa Tartar dari mongol, sedangkan bagian barat sudah dikuasai oleh Nasrani dari Eropa. Namun hal ini tidak menurunkan semangat para ahli tasawuf, terbukti dengan masih adanya beberapa ahli tasawuf yang melakukan kegiatan tarekat dan menulis beberapa kitab. Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada abad ini antara lain :
v  Ibnu Taymiyyah (wafat 728 H), mengembangkan madzhab hanbali dan menolak taklid, kurafat, maupun bid’ah.
v  Ibnu ‘Ataillah  Al-Sukandari (wafat 709 H), pengikut tarekat shajiliyyah.
v  Ibnu Al-Qayyim Al-jawziyyah (wafat 751 H), mewarisi ajaran dari Ibnu Taymiyyah.
v  Bahaw Al-Din Al-Naqshabandi (wafat 791 H), mengamalkan tarekat naqshabandiyyah.
v  Abdu Al-KarimAl-_jilli (wafat 820 H), pengikut ajaran wahdatul wujud.

ringkasan materi tasawuf 1



NAMA            : MOHAMAD YASIR
NIM                : 1210105067
SOSIOLOGI
1.      Pendahuluan
a.       Pengertian Tasawuf
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam.
Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih mementingkan aspek rohani dibandingkan aspek jasmani.
Dalam kaitannya dengan kehidupan, tasawuf lebih menekankan kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan dunia.
b.      Asal Kata Tasawuf
Arti kata Tasawwuf tidak dapat kita artikan dalam makna tertentu. Akan tetapi, ada beberapa theory tentang asal dari kata tasawwuf. Antara lain adalah sebagai berikut;
1)      Tasawwuf berasal dari kata shafw, artinya bersih atau shafaa. Kemungkinan ini dikuatkan oleh karena tujuan hidup kaum sufi adalah kebersihan lahir dan batin menuju maghfirah dan ridha Allah.
2)      Tasawwuf juga berasal dari kata shuffah, yaitu suatu kamar di samping masjid Rasulullah dikota Madinatul munawwarah, yang mana kamar tersebut disediakan selalu untuk para shahabat yang aktif dibidang ilmiah, dimana makan dan minum mereka ditanggung oleh orang-orang yang mampu dalam kota Madinah. Adapun para sahabat yang pernah tinggal disitu antara lain adalah: Abu dardak, Abu zarr, Abu Hurairah.
3)      Tasawwuf berasal dari kata shaff, yaitu barisan dikala waktu kita sembahyang. Oleh sebab itu orang-orang yang kuat imannya serta suci batinnya, memilih shaff (barisan) yang paling depan dalam berjamaah.
4)      Tasawwuf berasal juga dari kata shaufanah, yaitu adalah sebangsa buah-buahan kecil dan berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh dipadang pasir di tanah Arab, dimana pakaian kaum shufi itu berbulu-bulu seperti buah tersebut, yang menunjukan dalam kesederhanaan mereka.
c.       Faktor-faktor yang Menimbulkan Paham Tasawuf
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelahiran tasawuf adalah sebagai berikut :
1)      Lahir karena pengaruh paham kristen. Menjauhi dunia dan hidup di biara-biara.
2)      Karena pengaruh filsafat phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Raga adalah penjara roh. Untuk mencapai kesenangan, seseorang harus membersihkan roh tersebut dengan sikap hidup meninggalkan materi.
3)      Pengaruh dari filsafat emanasi plotinus yang membawa paham bahwa wujud memancar dari zat Tuhan, roh dari Tuhan dan kembali ke Tuhan. Masuknya materi membuat roh menjadi kotor sehingga untuk kembali kepada Tuhan roh tu harus bersih dengan cara meninggalkan kehidupan duniawi.
4)      Atas pengaruh nirwana. Menurut ajaran budha bahwa sesorang itu harus meninggalkan dunia.
5)      Atas pengaruh hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan.
d.      Karakteristik Tasawuf
Karakteristik tasawuf ada lima, yaitu :
1)      Peningkatan moral. Setiap tasawuf memiliki moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu. Dengan sendirinya, hal ini memerlukan latihan-latihan  fisik-fisikis tersendiri, serta pengkekangan diri dari matrealisme duniawi, dan lain-lain.
2)      Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Inilah ciri khas tasawuf dalam pengertiannya yang sunguh terkaji. Yang dimaksud fana ialah, bahwa dengan latihan fisik serta piskis yang di tempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi piskis tertentu, dimana dia tak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan dia merasa kekal-abadi dalam Realitas Yang Tertinggi.lebih jauh lagi., dia talah meleburkan kehendaknya bagi Kehandak Yang Mutlak. dari sebab inilah sebagai sufi ataupun mistikus berkeyakinan tantang dapat terjadinya persatuan dengan Realitas Yang Tertinggi itu, atau Yang Mutlak tersebut berada dalam  diri mereka. Dengan kata lain, wujud hanya satu, dan bukannya sama-sekali berbilang banyak . namun sebagi sufi  atau mistikus lainya tidak manyatakan pendapat begitu, yakni tentang  penyatuan, hulul, atau ketunggalan wujud. Sebaliknya, sekembali dari kesirnaan (fana), mereka justru mengokohkan adanya dualitas atau pluralitas wujud.
3)     Pengetahuan intuitip langsung. Ini adalah  norma terkaji epistemologis, yang membedakan tasawuf dari pada filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas seseorang mempergunakan metode-metode intekektual, maka dia disebut seorang filosof. Sementara, kalau dia berkeyakinan atas terdapatnya metode yang lain bagi pemahaman hakekat realitas di sebalik persepsi indrawi dan penawaran intelektual, yang disebut dengan rasyf atau intuisi atau sebutan-sebutan serupa lainnya, maka dalam kondisi begini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus dalam pengertiannya yang lengkap. Intuisi, menurut para sufi ataupun mistikus, bagaikan sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tiba- tiba.
4)     Ketentraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf. Sebab, tasawuf diniatkan sebagai penunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa-nafsu, serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi ataupun mistikus tersebut terbebas dari semua rasa takut dan merasa intens dan ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinyapun terwujudkan. Selain itu sebagai sufi ataupun mistikus telah menyatakan, bahwa pemenuhan fana dalam Yang Mutlak dan pengetahuan mengenai-nya justru membangkitkan suatu kebahagiaan pada diri seorang manusia, yang mustahil dapat diuraikan dengan kata-kata.
5)     Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan simbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para sufi ataupun mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harafiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisa serta pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sempurna tertutup bagi yang bukan sufi ataupun mistikus; dan sulit baginya untuk dapat memahami ucapan sufi ataupun mistikus, apalagi untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf adalah kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan merupakan kondisi yang sama pada semua orang. Setiap sufi ataupun mistikus punya cara sendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang dialaminya. Dengan demikian, tasawuf atau mustisisme dekat dengan seni. Khusus para penempuhnya, dalam menguraikan kondisi yang mereka alami, mempergunakan intropeksi sebagai landasan. Jelas, hikmah kehidupan yang seperti begini sulit untuk dipahami orang-orang lain. Dari inilah mengapa tasawuf diberi atribut dengan simbolisme.
e.       Cara Memasuki lapangan Tasawuf
Jalan tasawuf disini dimaksudkan adalah usaha pendekatan diri kepada Allah yang melalui beberapa pendakian dari satu tingkat ketingkat lainnya yang lebih tinggi.hal ini dimaksudkan agar dapat mencapai tujuan utama bertasawuf. Selanjutnya agar seorang shufi benar-benar dapat mencapai tujuan utama tashawuf itu, menurut kitab kifayatul atqiya’ maka harus menempuh langkah langkah sebagai berikut:
1.      Syari’at
Bagi kaum mutashawwifin sebelum memasuki lebih jauh pada inti pokok ajaran tasawuf, terlebih dahulu haruslah memahami secara mendalam masalah syari’at. Syari'at tidak bisa ditinggalkan karena syari'at adalah unsur pokok bagi unsur-unsur berikutnya. Antara syari'at, Thariqat, hakikat, dan ma'rifat  harus selalu berhubungan erat dan saling melengkapi. Dan thariqat tanpa syari'at jelas batal.
Dari keterangan-keterangan di atas,  jelas dimana letak dan kedudukan syari'at dalam thariqat. Maka, setiap shufi haruslah membekali diri dengan pengetahuan yang mendalam tentang syari'at. dan berimplikasi bahwa segala tindakan dan tingkah laku seorang shufi haruslah disesuaikan dengan syari'at Allah. Secara garis besar golongan tashawwuf dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
a)      Golongan Ahli Tashawwuf Murtaziqah, yaitu yang ajaran kebatinannya digunakan untuk mencari rizqi, baik dengan cara halal maupun haram, melalui thariqat, tirakat, semedi.
b)      Golongan Ahli Tashawwuf menyimpang, yaitu golongan para normal atau dukun yang bisa meramalkan masa depan dan bisa mengetahui masalah ghaib menurut pengakuan mereka, bahkan bisa berhubungan dengan makhluq halus. Pokoknya golongan ini banyak mencari nilai-nilai tashawwuf dari luar Islam.
c)      Golongan Ahli Tashawwuf Murni atau hakiki yang mengambil ajaran-ajaran akhlaq dari Allah dan Rasul-Nya atau dari Al Qur'an dan Hadits.
Pada akhirnya, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa syari'at adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf. Syari'at dan hakikat saling berhubungan dan saling mengisi dan barangsapa yang meninggalkan syari'at dalam bertashawuf dengan alasan apa saja, maka akan batallah amalnya, bahkan akan terjerumus kedalam kekufuran yang nyata.
2.      Thariqat
Thariqat menurut pandangan para ulama' Mutashawwifin, yaitu jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yang dicontohkan oleh beliau dan para shahabatnya serta pada Tabi'in, Tabi'it tabi'in dan terus bersambung sampai kepada para guru-guru, Ulama', Kiyai-kiyai secara bersambung hingga pada masa kita sekarang ini.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh  Zainuddin bin Al.y Al Malibary, Thariqat adalah suatu cara atau pendakian yang ditempuh oleh para ahli tashawwuf atau kaum mutashawwifin untuk mencapai tujuan.Dalam ilmu tashawwuf dikatakan bahwa "syari'at itu merupakan peraturan, thariqat itu merupakan pelaksanaan sedangkan hakikat merupakan keadaan dan ma'rifat merupakan tujuan yang terakhir.
Pelaksanaan dan cara untuk mencapai tujuan, antara satu dengan lainnya berbeda-beda. Perbedaan tersebut muncul diakibatkan sebab-sebab dari timbulnya thariqat itu sendiri. tujuan pokoknya sama dapatlah dikemukakan suatu contoh, misalnya mengenai masalah dzikir kepada Allah, dzikrullah. Ada thariqat yang mempunyai dzikir-dzikir tertentu dengan bersuara atau yang disebut dzikrul lisan, ada dzikir dzikrul Qalbi dan ada juga dikrus sir. Dari bermacam-macam cara ini pada hakikatnya tujuan utama thariqat ini tak lain adalah agar seorang hamba dapat mengenal Allah. menempuh jalan (Thariqat) untuk terbukanya rahasia dan tersingkapnya dinding (kasyaf), maka kaum shufi mengadakan kegiatan bathin, riyadlah (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) kerohanian. Perjuangan ini dinamakan suluk dan orang yang mengerjakannya dinamakan Salik.
Jelaslah bahwa thariqat itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan dengan menggunakan mata hatinya. Dan cara orang mutasywwifin untuk mendekatkan diri kepada tuhan dengan melakukan riyadlah, Mujahadah, seperti ikhlas, zuhud, tajarrud, dan sebagainya.
3.      Hakikat
Haqiqat adalah keadaan Salik sampai pada tujuan utama tasyawuf yaitu ma'rifat billah dan musyahadati nurit tajalli atau terbukanya nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorang. Tajalli disini adalah terbukanya . nur cahaya yang ghoib bagi hati seseorang. Dan sangat mungkin bahwa yang dimaksud tajalli disini adalah yang Mutajalli yaitu Allah. Adapula sebagian ulama’ tashawufmengatakan bahwa yang dimaksud dengan hakikat itu ialah segala penjelasan mengenai kebanaran mutlak dari sesuatu, seperti syuhud dzat, asma, sifat, memahami rahasia-rahasia Al-Quran dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam larangan maupun perintah Tuhan


4.      Ma'rifat
Ma'rifat adalah mengenal Allah, baik lewat sifat-sifat-Nya, asma-asma-Nya maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dari akar ma'rifatullah, kemudian akan mempunyai cabang-cabang ma'rifat kepada Rasul, kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitak suci-Nya, termasuk ranting- ranting-Nya yakni mu'jizat, keramat dan kewalian. Sedang puncaknya adalah ma'rifat akan kehidupan sesudah mati, dimana semua makhluq akan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jelasnya mencapai ma'rifat itu tidak cukup dengan jalanmelalui dalil-dalil atau bukan semata didapat melalui akal atau banyaknya amalan, akan tetapi ma'rifat billah dapat dicapai dengan pertolongan Allah, disamping berusaha mendapatkannyamelalui amal sholeh.
f.       Isi Kandungan Tasawuf
Pengertian tasawuf lebih dititikberatkan kepada teori atau tatacara mendekatkan diri kepada Allah untuk mencapai keridhoan-Nya. Istilah “tasyawuf” belum dikenal pada masa Rasulullah(saw), namun praktek atau perilaku hidup Nabi(saw) - yang kemudian dicontoh para sahabat - menjadi dasar berdirinya istilah tasyawuf yang kemudian menjadi suatu cabang ilmu tersendiri dalam pelajaran agama Islam.
Ilmu tasawuf adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Tuhan atau ma’rifat billah, dan melalui tasawuf ini pula ia dapat melangkah sesuai dengan tuntunan yang paling baik dan benar dengan akhlak yang indah serta akidah yang kuat. Oleh sebab itu maka mutasawwif tidak mempunyai tujuan lain selain mencapai ma’rifat billah (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya, dan tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasinya dengan Allah. Bagi mereka mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifahtullah.
Adapun yang dimaksud dengan ma’rifatullah ialah melihat Tuhan dengan hati secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tapi tidak dengan kaifiyat. Artinya, Tuhan tidak digambarkan seperti benda atau manusia ataupun bentuk tertentu sebagai jawaban dari bagaimana zat Tuhan tersebut
2.      Fase-Fase Perkembangan Tasawuf dari Abad 1-4 H.
Abad Kesatu dan Kedua Hijriyah ( Gerakan Zuhud )
Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisma ini tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Pada masa ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupannya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dikalangan mereka adalah Hasan Al-Bashri (meninggal pada 110 H) dan Rabi’ah Al-Adawiyah (meninggal pada 185 H) kedua tokoh ini dijuluki sebagai zabhid.
Abad Ketiga Hijriyah
Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang ketika itu. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikanh tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan semua orang. Kesederhanaanya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Tasawuf pada akhir yang sederhana ini tampaknya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengalaman Islam dalam praktik yang lebih menekankan keterpujian perilaku manusia. Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak-akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal dan cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsitensi pengaalaman ajaran Islam sampai pada aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika menyaksikan ketidak beresan perilaku (akhlak) di sekitarrnya, mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa ini, tasawuf identilk dengan akhlak. Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang masa itu, mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu:Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa,Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak, dan Tasawuf yang berintikan metafisika. Beberapa tokoh tasawuf pada abad ini diantaranya Al-Suqti (wafat 253 H), dan Dzunun Al-Hasri (wafat 245 H).
Abad Keempat Hijriyah
Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkanb pada abad ketiga hijriyah, karna usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya, kota Baghdad yang hanya satu-satunya koa yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Upaya untuk mengembangkan tasawuf diluar kota Baghdad dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang terkenal kesufiannya, yaitu Musa Al-Anshory (wafat 320 H), Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy (wafat 322 H), Abu Zaid Al-Adamy (wafat 314 H), dan Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi (wafat 328 H).