FEMINISME DAN PERSAMAAN GENDER
BARAT DALAM MASYARAKAT ISLAM
Diajukan sebagai Ujian Akhir
Semester Matakuliah
Sosiologi Gender Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Disusun
Oleh
:
MOHAMAD
YASIR
1210105067
SOSIOLOGI B / VI
BANDUNG
2013 M
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Jika dalam masyarakat Barat terdapat sikap
merendahkan derajat perempuan sehingga menimbulkan gerakan feminisme dan
persamaan gender, maka berlainan dengan agama Islam yang sangat memuliakan
perempuan. Kitab suci al-Quran memberikan hak-hak perempuan dan menempatkan
perempuan pada kedudukan terhormat yang sama dengan hak dan kedudukan lelaki.
“Sesungguhnya
orang-orang lelaki yang Islam serta orang-orang perempuan yang Islam dan
orang-orang lelaki yang beriman serta orang-orang perempuan yang beriman dan
orang-orang lelaki yang taat serta orang-orang perempuan yang taat dan
orang-orang lelaki yang benar serta orang-orang perempuan yang benar, dan
orang-orang lelaki yang sabar serta orang-orang perempuan yang sabar dan orang-orang
lelaki yang merendah diri (kepada Allah) serta orang-orang perempuan yang
merendah diri (kepada Allah) dan orang-orang lelaki yang bersedekah serta
orang-orang perempuan yang bersedekah dan orang-orang lelaki yang berpuasa
serta orang-orang perempuan yang berpuasa dan orang-orang lelaki yang
memelihara kehormatannya serta orang-orang perempuan yang memelihara
kehormatannya dan orang-orang lelaki yang menyebut nama Allah banyak-banyak
serta orang-orang perempuan yang menyebut nama Allah banyak-banyak, Allah telah
menyediakan bagi mereka semuanya keampunan dan pahala yang besar”
( Surah al Ahzab 33 : 35 ).
“Sesiapa yang beramal
soleh, dari lelaki atau perempuan, sedang dia beriman, maka sesungguhnya Kami
akan menghidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan sesungguhnya kami akan
membalas mereka, dengan memberikan pahala yang lebih dari apa yang mereka telah
kerjakan”. (Surah an-Nahl 16 : 97)
“Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya
yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang daripada berbuat
kejahatan dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada
Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana”. (Surah at-Taubah
9 : 71)
Kedudukan perempuan dalam masyarakat Islam sangat
mulia dan terhormat. Halim Abu Syuqqah dalam kitab “Kebebasan Wanita”
menyatakan bahawa peranan perempuan dalam masyarakat Islam hampir sama dengan
lelaki. Rasulullah sangat memperhatikan hak pendidikan bagi kaum perempuan.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas bahawa Rasulullah merasa belum
menyampaikan nasihatnya kepada perempuan, maka beliau pergi kepada kaum
perempuan untuk memberikan nasihat dan ajaran serta menyuruh mereka bersedekah.
Ibnu Juraij bertanya : “Apakah seorang pemimpin berhak melakukan perbuatan
demikian dalam memberikan peringatan kepada kaum perempuan? Rasulullah menjawab
: Hal itu adalah hak mereka, jika demikian tidak ada sebab bagi pemimpin untuk
tidak melakukan perbuatan tersebut”.
Perempuan pada zaman Rasulullah juga ikut dalam
solat berjemaah. Saidatina Aisyah, isteri Rasulullah menyatakan : “Perempuan-perempuan
beriman ikut hadir bersama Rasulullah untuk melaksanakan solat subuh dengan
memakai selimut untuk menutupi badan mereka. Kemudian mereka kembali setelah
solat ke rumah mereka masing-masing sementara tidak ada seorang pun yang dapat
mengenal mereka disebabkan kegelapan malam”. ( riwayat Bukhari, Muslim )
Kaum perempuan masyarakat Islam juga menyertai
gerakan sosial, politik dan turut berperang melawan musuh. Fatimah binti Qais
berkata : “Ummu Syuraik adalah seorang perempuan kaya kaum Ansar. Dia
membelanjakan harta kekayaannya untuk kepentingan agama Allah dan rumah
kediamannya seringkali disinggahi oleh tetamu” (Hadis riwayat Muslim ). Ummu
Athiyah , seorang perempuan pada zaman nabi Muhammad SAW berkata : “Saya
ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan. Saya selalu
ditempatkan di bahagian belakang pasukan. Sayalah yang membuatkan makanan untuk
pasukan yang berperang, dan mengubati mereka yang sakit dan terluka” ( Hadis
riwayat Muslim ).
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, dalam pengantar kepada
buku “Kebebasan Wanita”[1], memberikan
contoh-contoh kehidupan perempuan dalam masyarakat Islam seperti :
1.
Kaum perempuan masyarakat Islam
mempunyai kesempatan yang luas untuk mendapat pendidikan, pelajaran dan
menghadiri majlis ilmu.
2.
Kaum perempuan dibolehkan menghadiri
pertemuan umum di masjid untuk turut memutuskan perkara yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan negara.
3.
Kaum perempuan mempunyai hak dalam
ekonomi, sebagaimana Zainab binti Jahsy mempunyai pekerjaan dan kegiatan
ekonomi yang dilakukan dengan tangannya sendiri sehingga dapat bersedekah dari
hasil pendapatannya sendiri. Zainab binti Mas’ud bekerja dengan tangannya
sendiri dan memberikan belanja untuk suami dan anak yatim yang dipeliharanya.
4.
Ummu Athiyah ikut berperang bersama
suaminya sebanyak enam kali, sedangkan Ummu Haram menginginkan kematian syahid
bersama tentera pasukan laut.
5.
Dalam politik, Ummu Hani ikut dalam
melindungi pelarian perang, dan menyelesaikan perkara saudara lelakinya.
6.
Ummu Kalsum binti Uqbah, seorang remaja
ikut berhijrah ke Madinah, dan berpisah dengan keluarganya.
7.
Perempuan berhak mempertahankan
pilihannya dalam memilih suami , berpisah dengan suami dan terlepas dari
pengaruh keluarganya.
8.
Zainab binti Muhajir berdialog dengan
khalifah Abu Bakar Al-Siddiq, Ummu Darba pernah menyangkal pendapat khalifah
Abdul Malik bin Marwan, dan Ummu Ya’kub berdialog dengan Abdullah bin Mas’ud
yang dianggap sebagai penghulu fuqaha sahabat.
9.
Atikah binti Zaid, isteri Khalifah Umar
bin Al-Khattab mempertahankan haknya dalam kesaksian jamaah.
10. Seorang
remaja perempuan Bani Khatsamiyah bersusah payah untuk menghajikan bapanya
sendiri.
Al-Quran telah menetapkan tugas yang seimbang bagi
lelaki dan perempuan.Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan kemampuan
masing-masing berdasarkan fitrah alami perempuan yang berbeza dengan kaum
lelaki. Dari segi fizik, emosi dan psikologi, hanya perempuan yang dapat
menjalankan tugas keibuan dengan baik. Ini kerana berbanding dengan lelaki, kaum
perempuan lebih penyayang, lebih ramah, cepat bertindak dan memberikan respons
sesuai dengan naluri keibuan. Sifat-sifat ini menjadi ciri utama perempuan
dalam menjalankan tugas dan kewajipan. Islam memberikan persamaan di antara
lelaki dan perempuan, namun hanya ada sedikit keterbatasan dan perbezaan yang
digariskan oleh Islam untuk kaum perempuan seperti dalam hak harta warisan, dan
ijab-kabul pernikahan, dalam kepemimpinan keluarga, dan sebagainya. Perbezaan
dalam peranan dan hak yang telah ditentukan oleh Allah tidak bermakna adanya
superioriti ataupun inferioriti bagi pihak manapun, akan tetapi hanyalah untuk
menjaga kecenderungan fitrah masing-masing[2].
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahawa
Islam telah memberikan kebebasan kepada perempuan dalam bidang ekonomi, sosial
dan politik, sebelum masyarakat Barat memberikan kebebasan kepada mereka. Oleh
sebab itu masyarakat Muslim tidak memerlukan gerakan pembebasan perempuan,
gerakan feminisme, dan kesamaan gender, sebab ajaran Islam dan sejarah masyarakat
muslim terdahulu sudah memberikan kedudukan terhormat kepada kaum perempuan
sesuai dengan kudrat dan fitrahnya.
Pengaruh Feminisme dan Persamaan
Gender Barat Dalam Masyarakat Islam
Gerakan Feminisme dan Persamaan Gender pada mulanya
adalah gerakan sekelompok aktivis perempuan Barat yang kemudian menjadi kajian
akademik di lembaga kajian, dan pengajian tinggi dengan kajian “women
studies”, yang menyebar baik di negara Barat mahupun di negara Muslim.
Gerakan ini akhirnya telah mendapat perakuan dari Pertubuhan Bangsa-Bangsa
Bersatu dengan dikeluarkannya Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women ( CEDAW). Bahkan sebahagian Negara Barat
memberikan bantuan dana untuk mengembangkan kajian dan fahaman tersebut dalam
masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika kepada Negara Indonesia :
“Amerika Syarikat juga memberikan dana kepada berbagai-bagai organisasi muslim
dan pondok untuk mengangkat persamaan gender dan anak perempuan dengan
memperkukuhkan pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin
perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesetaraan gender di
pondok pesantren melalui latihan kepimpinan pesantren lelaki dan perempuan”[3].
Pada tahun 1990-an, gerakan feminisme Barat mulai
mempengaruhi beberapa sarjana dan pemikir muslim, sehingga muncullah gerakan
feminisme muslim. Azza M.Karam mendefinisikan feminisme muslim adalah : “a
one who adopts a worldview in which Islam can be contextualized and
reinterpreted in order to promote concepts of equity and equality between men
and women and for whom freedom of choice plays an important part in expression
of faith”[4].
Pengungkapan
masalah kaum wanita dengan menggunakan analisis gender sering mendapat
tentangan dari dalam kalangan kaum lelaki maupun wanita sendiri. Ini kerana
mempertanyakan status kaum wanita pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan
struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan posisi wanita bererti
menggoncang struktur dan status quo ketidakadilan tertua terhadap wanita
dalam masyarakat di samping menggugat keistimewaan (privilege) yang
dinikmati kaum lelaki[5]. Justru
dalam menganalisis gender, kriteria utama yang perlu diberi perhatian adalah
membedakan di antara seks dan gender.
Dalam melakukan identifikasi terhadap ketidakadilan
ini, analisis gender perlu membedakan di antara apa yang disebut “seks” dan
“gender”. Seks didefinisikan, sebagai perbedaan di antara lelaki dan wanita
yang didasarkan pada ciri-ciri biologi. Sedangkan gender adalah perbedaan
lelaki dan wanita secara sosial seperti wanita itu lemah lembut, emosional atau
keibuan, sementara lelaki dianggap kuat, rasional dan perkasa[6].
Pengaruh pemikiran Feminisme Barat dan Persamaan
Gender di dalam masyarakat muslim juga dilanjutkan dengan munculnya institusi
kajian seperti Femina Insitute (Indonesia), Sisters in Islam (SIS), Musawwa
(Malaysia), dan sebagainya. Di samping itu terbit beberapa majalah, jurnal,
tentang feminisme dan persamaan gender seperti jurnal Perempuan. Pengaruh
Feminisme dan Persamaan Gender juga terlihat dengan berdirinya Pusat Study Wanita
dan Pusat Kajian Gender di berbagai-bagai perguruan tinggi.
Islam telah memperhatikan tiga
perkara dalam menetapkan hak-hak perempuan.
Pertama : Larangan
kepada orang lelaki untuk menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya
dalam memimpin dan mengurusi keluarga dengan menjadikannya sebagai alat untuk
menganiaya perempuan sehingga hubungan antara perempuan dan laki-laki hanya
seperti pelayan dan tuannya.
Kedua : Semua
kesempatan wajib diberikan kepada perempuan untuk mengembangkan keahlian dan
bakatnya yang asli dalam batas-batas tatanan sosial secara optimal dan
melakukan pekerjaan untuk membangun peradaban dengan cara sebaik-baiknya.
Ketiga: Bagi
perempuan mudah untuk mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan tertinggi. Di
samping itu setiap kemajuan dan kesuksesan harus dicapai dengan tetap sebagai
perempuan. Dan tidak bermanfaat bagi peradaban atau perempuan itu sendiri bila
ia bersiap-siap dan menyiapkan kehidupan lelaki dan tidak pula ia dapat
menghasilkan model kehidupan.
Apa yang telah diberikan Islam
kepada perempuan berupa hak-hak peradaban dan ekonomi yang luas dengan
memperlihatkan ketiga perkara ini secara penuh di samping derajat kemuliaan
yang tinggi dan hukum moral adalah termasuk jaminan yang tetap dan kekal untuk
memelihara hak-hak dan derajat ini. Tidaklah diragukan bahwa semua itu tidak
ada dalam sistem masyarakat mana pun yang lama atau baru di dunia.
Dalam kajian tentang kesaksian
perempuan, baik para ulama klasik (fukaha dan mufasirin) maupun para feminis
sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an, khususnya surat Al-Baqarah
ayat 282.
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
suapaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Atas dasar ayat tersebut, ulama
klasik berpendapat bahwa bobot kesaksian perempuan separo dari bobot kesaksian
laki-laki dan hanya terbatas pada bidang transaksi bisnis serta rahasia
perempuan. Sementara itu, para feminis menyimpulkan bahwa perempuan dan
laki-laki memiliki bobot persaksian yang sama dan berlaku untuk seluruh bidang
yang memerlukan persaksian.
Mengapa pendapat kedua kelompok
ulama berbeda? Tampaknya hal ini terjadi karena kedua kelompok menggunakan
pendekatan yang berbeda dalam memahami ayat. Ulama klasik menggunakan
pendekatan tekstual yang memang secara eksplisit hanya dapat ditafsirkan
sebagaimana pendapat mereka. Di samping itu, konteks kehidupan mereka yang
memberikan posisi marginal bagi perempuan dalm kehidupan sosial juga sangat
mendukung penafsiran mereka. Lebih lanjut, mereka mengartikan kekhususan bidang
kesaksian yang disebutkan dalam ayat sebagai batasan bidang yang dapat
dipersaksikan oleh perempuan. Karena itu, perempuan tidak dapat menjadi saksi
dalam bidang lain.
Berbeda dari hal di atas, para
feminis menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami ayat. Hal ini karena
konteks kehidupan pada saat ini telah berbeda jauh dari konteks di mana ayat
itu diturunkan. Dalam kehidupan saat ini, ketika tugas dan tanggung jawab
sosial tidak lagi dibedakan atas perbedaan kelamin, pendekatan kontekstual
dalam memahami ayat tersebut sangat diperlukan untuk menunjukkan universalitas
ajaran yang dikandung oleh ayat tersebut. Di samping itu, para feminis
mengartikan kekhususan bidang kesaksian yang disebutkan dalam ayat sebagai
batasan bidang yang memerlukan kesaksian seorang perempuan harus didampingi
perempuan lain. Karena itu, bidang di luar yang khusus tersebut perempuan
memiliki kedudukan yang sama, baik bobot maupun kewenangan dengan laki-laki
dalam memberikan kesaksian.
[1] Abdul Halim Abu
Syuqqah, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
[2] Dinar Dewi Kania, Isu
Gender : Sejarah dan Perkembangannya, Majalah Islamia, Vol.3, No.5, 2010,
hal.55.
[4] Azza M.Karam, Women, Islamism, and the State : Contemporary
Feminism in Egypt, MacMillan, London, 1998, hal.5
[5]
Mansour Fakih, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
[6] Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar