Senin, 21 Juli 2014

FEMINISME DAN PERSAMAAN GENDER BARAT DALAM MASYARAKAT ISLAM



FEMINISME DAN PERSAMAAN GENDER BARAT DALAM MASYARAKAT ISLAM

Diajukan sebagai Ujian Akhir Semester Matakuliah Sosiologi Gender Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik


Disusun Oleh :
MOHAMAD YASIR
1210105067
SOSIOLOGI B / VI


BANDUNG
2013 M
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Jika dalam masyarakat Barat terdapat sikap merendahkan derajat perempuan sehingga menimbulkan gerakan feminisme dan persamaan gender, maka berlainan dengan agama Islam yang sangat memuliakan perempuan. Kitab suci al-Quran memberikan hak-hak perempuan dan menempatkan perempuan pada kedudukan terhormat yang sama dengan hak dan kedudukan lelaki.
“Sesungguhnya orang-orang lelaki yang Islam serta orang-orang perempuan yang Islam dan orang-orang lelaki yang beriman serta orang-orang perempuan yang beriman dan orang-orang lelaki yang taat serta orang-orang perempuan yang taat dan orang-orang lelaki yang benar serta orang-orang perempuan yang benar, dan orang-orang lelaki yang sabar serta orang-orang perempuan yang sabar dan orang-orang lelaki yang merendah diri (kepada Allah) serta orang-orang perempuan yang merendah diri (kepada Allah) dan orang-orang lelaki yang bersedekah serta orang-orang perempuan yang bersedekah dan orang-orang lelaki yang berpuasa serta orang-orang perempuan yang berpuasa dan orang-orang lelaki yang memelihara kehormatannya serta orang-orang perempuan yang memelihara kehormatannya dan orang-orang lelaki yang menyebut nama Allah banyak-banyak serta orang-orang perempuan yang menyebut nama Allah banyak-banyak, Allah telah menyediakan bagi mereka semuanya keampunan dan pahala yang besar( Surah al Ahzab 33 : 35 ).
“Sesiapa yang beramal soleh, dari lelaki atau perempuan, sedang dia beriman, maka sesungguhnya Kami akan menghidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan sesungguhnya kami akan membalas mereka, dengan memberikan pahala yang lebih dari apa yang mereka telah kerjakan. (Surah an-Nahl 16 : 97)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang daripada berbuat kejahatan dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (Surah at-Taubah 9 : 71)
Kedudukan perempuan dalam masyarakat Islam sangat mulia dan terhormat. Halim Abu Syuqqah dalam kitab “Kebebasan Wanita” menyatakan bahawa peranan perempuan dalam masyarakat Islam hampir sama dengan lelaki. Rasulullah sangat memperhatikan hak pendidikan bagi kaum perempuan. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas bahawa Rasulullah merasa belum menyampaikan nasihatnya kepada perempuan, maka beliau pergi kepada kaum perempuan untuk memberikan nasihat dan ajaran serta menyuruh mereka bersedekah. Ibnu Juraij bertanya : “Apakah seorang pemimpin berhak melakukan perbuatan demikian dalam memberikan peringatan kepada kaum perempuan? Rasulullah menjawab : Hal itu adalah hak mereka, jika demikian tidak ada sebab bagi pemimpin untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.
Perempuan pada zaman Rasulullah juga ikut dalam solat berjemaah. Saidatina Aisyah, isteri Rasulullah menyatakan : “Perempuan-perempuan beriman ikut hadir bersama Rasulullah untuk melaksanakan solat subuh dengan memakai selimut untuk menutupi badan mereka. Kemudian mereka kembali setelah solat ke rumah mereka masing-masing sementara tidak ada seorang pun yang dapat mengenal mereka disebabkan kegelapan malam. ( riwayat Bukhari, Muslim )
Kaum perempuan masyarakat Islam juga menyertai gerakan sosial, politik dan turut berperang melawan musuh. Fatimah binti Qais berkata : “Ummu Syuraik adalah seorang perempuan kaya kaum Ansar. Dia membelanjakan harta kekayaannya untuk kepentingan agama Allah dan rumah kediamannya seringkali disinggahi oleh tetamu” (Hadis riwayat Muslim ). Ummu Athiyah , seorang perempuan pada zaman nabi Muhammad SAW berkata : “Saya ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan. Saya selalu ditempatkan di bahagian belakang pasukan. Sayalah yang membuatkan makanan untuk pasukan yang berperang, dan mengubati mereka yang sakit dan terluka” ( Hadis riwayat Muslim ).
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, dalam pengantar kepada buku “Kebebasan Wanita”[1], memberikan contoh-contoh kehidupan perempuan dalam masyarakat Islam seperti :
1.      Kaum perempuan masyarakat Islam mempunyai kesempatan yang luas untuk mendapat pendidikan, pelajaran dan menghadiri majlis ilmu.
2.      Kaum perempuan dibolehkan menghadiri pertemuan umum di masjid untuk turut memutuskan perkara yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan negara.
3.      Kaum perempuan mempunyai hak dalam ekonomi, sebagaimana Zainab binti Jahsy mempunyai pekerjaan dan kegiatan ekonomi yang dilakukan dengan tangannya sendiri sehingga dapat bersedekah dari hasil pendapatannya sendiri. Zainab binti Mas’ud bekerja dengan tangannya sendiri dan memberikan belanja untuk suami dan anak yatim yang dipeliharanya.
4.      Ummu Athiyah ikut berperang bersama suaminya sebanyak enam kali, sedangkan Ummu Haram menginginkan kematian syahid bersama tentera pasukan laut.
5.      Dalam politik, Ummu Hani ikut dalam melindungi pelarian perang, dan menyelesaikan perkara saudara lelakinya.
6.      Ummu Kalsum binti Uqbah, seorang remaja ikut berhijrah ke Madinah, dan berpisah dengan keluarganya.
7.      Perempuan berhak mempertahankan pilihannya dalam memilih suami , berpisah dengan suami dan terlepas dari pengaruh keluarganya.
8.      Zainab binti Muhajir berdialog dengan khalifah Abu Bakar Al-Siddiq, Ummu Darba pernah menyangkal pendapat khalifah Abdul Malik bin Marwan, dan Ummu Ya’kub berdialog dengan Abdullah bin Mas’ud yang dianggap sebagai penghulu fuqaha sahabat.
9.      Atikah binti Zaid, isteri Khalifah Umar bin Al-Khattab mempertahankan haknya dalam kesaksian jamaah.
10.  Seorang remaja perempuan Bani Khatsamiyah bersusah payah untuk menghajikan bapanya sendiri.
Al-Quran telah menetapkan tugas yang seimbang bagi lelaki dan perempuan.Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan kemampuan masing-masing berdasarkan fitrah alami perempuan yang berbeza dengan kaum lelaki. Dari segi fizik, emosi dan psikologi, hanya perempuan yang dapat menjalankan tugas keibuan dengan baik. Ini kerana berbanding dengan lelaki, kaum perempuan lebih penyayang, lebih ramah, cepat bertindak dan memberikan respons sesuai dengan naluri keibuan. Sifat-sifat ini menjadi ciri utama perempuan dalam menjalankan tugas dan kewajipan. Islam memberikan persamaan di antara lelaki dan perempuan, namun hanya ada sedikit keterbatasan dan perbezaan yang digariskan oleh Islam untuk kaum perempuan seperti dalam hak harta warisan, dan ijab-kabul pernikahan, dalam kepemimpinan keluarga, dan sebagainya. Perbezaan dalam peranan dan hak yang telah ditentukan oleh Allah tidak bermakna adanya superioriti ataupun inferioriti bagi pihak manapun, akan tetapi hanyalah untuk menjaga kecenderungan fitrah masing-masing[2].
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahawa Islam telah memberikan kebebasan kepada perempuan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, sebelum masyarakat Barat memberikan kebebasan kepada mereka. Oleh sebab itu masyarakat Muslim tidak memerlukan gerakan pembebasan perempuan, gerakan feminisme, dan kesamaan gender, sebab ajaran Islam dan sejarah masyarakat muslim terdahulu sudah memberikan kedudukan terhormat kepada kaum perempuan sesuai dengan kudrat dan fitrahnya.

Pengaruh Feminisme dan Persamaan Gender Barat Dalam Masyarakat Islam
Gerakan Feminisme dan Persamaan Gender pada mulanya adalah gerakan sekelompok aktivis perempuan Barat yang kemudian menjadi kajian akademik di lembaga kajian, dan pengajian tinggi dengan kajian “women studies”, yang menyebar baik di negara Barat mahupun di negara Muslim. Gerakan ini akhirnya telah mendapat perakuan dari Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu dengan dikeluarkannya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women ( CEDAW). Bahkan sebahagian Negara Barat memberikan bantuan dana untuk mengembangkan kajian dan fahaman tersebut dalam masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika kepada Negara Indonesia : “Amerika Syarikat juga memberikan dana kepada berbagai-bagai organisasi muslim dan pondok untuk mengangkat persamaan gender dan anak perempuan dengan memperkukuhkan pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesetaraan gender di pondok pesantren melalui latihan kepimpinan pesantren lelaki dan perempuan[3].
Pada tahun 1990-an, gerakan feminisme Barat mulai mempengaruhi beberapa sarjana dan pemikir muslim, sehingga muncullah gerakan feminisme muslim. Azza M.Karam mendefinisikan feminisme muslim adalah : “a one who adopts a worldview in which Islam can be contextualized and reinterpreted in order to promote concepts of equity and equality between men and women and for whom freedom of choice plays an important part in expression of faith”[4].
Pengungkapan masalah kaum wanita dengan menggunakan analisis gender sering mendapat tentangan dari dalam kalangan kaum lelaki maupun wanita sendiri. Ini kerana mempertanyakan status kaum wanita pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan posisi wanita bererti menggoncang struktur dan status quo ketidakadilan tertua terhadap wanita dalam masyarakat di samping menggugat keistimewaan (privilege) yang dinikmati kaum lelaki[5]. Justru dalam menganalisis gender, kriteria utama yang perlu diberi perhatian adalah membedakan di antara seks dan gender.
Dalam melakukan identifikasi terhadap ketidakadilan ini, analisis gender perlu membedakan di antara apa yang disebut “seks” dan “gender”. Seks didefinisikan, sebagai perbedaan di antara lelaki dan wanita yang didasarkan pada ciri-ciri biologi. Sedangkan gender adalah perbedaan lelaki dan wanita secara sosial seperti wanita itu lemah lembut, emosional atau keibuan, sementara lelaki dianggap kuat, rasional dan perkasa[6].
Pengaruh pemikiran Feminisme Barat dan Persamaan Gender di dalam masyarakat muslim juga dilanjutkan dengan munculnya institusi kajian seperti Femina Insitute (Indonesia), Sisters in Islam (SIS), Musawwa (Malaysia), dan sebagainya. Di samping itu terbit beberapa majalah, jurnal, tentang feminisme dan persamaan gender seperti jurnal Perempuan. Pengaruh Feminisme dan Persamaan Gender juga terlihat dengan berdirinya Pusat Study Wanita dan Pusat Kajian Gender di berbagai-bagai perguruan tinggi.
Islam telah memperhatikan tiga perkara dalam menetapkan hak-hak perempuan.
Pertama : Larangan kepada orang lelaki untuk menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya dalam memimpin dan mengurusi keluarga dengan menjadikannya sebagai alat untuk menganiaya perempuan sehingga hubungan antara perempuan dan laki-laki hanya seperti pelayan dan tuannya.
Kedua : Semua kesempatan wajib diberikan kepada perempuan untuk mengembangkan keahlian dan bakatnya yang asli dalam batas-batas tatanan sosial secara optimal dan melakukan pekerjaan untuk membangun peradaban dengan cara sebaik-baiknya.
Ketiga: Bagi perempuan mudah untuk mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan tertinggi. Di samping itu setiap kemajuan dan kesuksesan harus dicapai dengan tetap sebagai perempuan. Dan tidak bermanfaat bagi peradaban atau perempuan itu sendiri bila ia bersiap-siap dan menyiapkan kehidupan lelaki dan tidak pula ia dapat menghasilkan model kehidupan.
Apa yang telah diberikan Islam kepada perempuan berupa hak-hak peradaban dan ekonomi yang luas dengan memperlihatkan ketiga perkara ini secara penuh di samping derajat kemuliaan yang tinggi dan hukum moral adalah termasuk jaminan yang tetap dan kekal untuk memelihara hak-hak dan derajat ini. Tidaklah diragukan bahwa semua itu tidak ada dalam sistem masyarakat mana pun yang lama atau baru di dunia.
Dalam kajian tentang kesaksian perempuan, baik para ulama klasik (fukaha dan mufasirin) maupun para feminis sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an, khususnya surat Al-Baqarah ayat 282.
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, suapaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Atas dasar ayat tersebut, ulama klasik berpendapat bahwa bobot kesaksian perempuan separo dari bobot kesaksian laki-laki dan hanya terbatas pada bidang transaksi bisnis serta rahasia perempuan. Sementara itu, para feminis menyimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki bobot persaksian yang sama dan berlaku untuk seluruh bidang yang memerlukan persaksian.
Mengapa pendapat kedua kelompok ulama berbeda? Tampaknya hal ini terjadi karena kedua kelompok menggunakan pendekatan yang berbeda dalam memahami ayat. Ulama klasik menggunakan pendekatan tekstual yang memang secara eksplisit hanya dapat ditafsirkan sebagaimana pendapat mereka. Di samping itu, konteks kehidupan mereka yang memberikan posisi marginal bagi perempuan dalm kehidupan sosial juga sangat mendukung penafsiran mereka. Lebih lanjut, mereka mengartikan kekhususan bidang kesaksian yang disebutkan dalam ayat sebagai batasan bidang yang dapat dipersaksikan oleh perempuan. Karena itu, perempuan tidak dapat menjadi saksi dalam bidang lain.
Berbeda dari hal di atas, para feminis menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami ayat. Hal ini karena konteks kehidupan pada saat ini telah berbeda jauh dari konteks di mana ayat itu diturunkan. Dalam kehidupan saat ini, ketika tugas dan tanggung jawab sosial tidak lagi dibedakan atas perbedaan kelamin, pendekatan kontekstual dalam memahami ayat tersebut sangat diperlukan untuk menunjukkan universalitas ajaran yang dikandung oleh ayat tersebut. Di samping itu, para feminis mengartikan kekhususan bidang kesaksian yang disebutkan dalam ayat sebagai batasan bidang yang memerlukan kesaksian seorang perempuan harus didampingi perempuan lain. Karena itu, bidang di luar yang khusus tersebut perempuan memiliki kedudukan yang sama, baik bobot maupun kewenangan dengan laki-laki dalam memberikan kesaksian.



[1] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
[2] Dinar Dewi Kania, Isu Gender : Sejarah dan Perkembangannya, Majalah Islamia, Vol.3, No.5, 2010, hal.55.
[3] Laman web www.usembassyjakarta.org/bbs/laporan/indonesia_laporan_deplu-AS.html
[4] Azza M.Karam, Women, Islamism, and the State : Contemporary Feminism in Egypt, MacMillan, London, 1998, hal.5
[5] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
[6] Ibid,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar