NAMA : MOHAMAD YASIR
KELAS : SOSIOLOGI b / VII
TUGAS
ARTIKKEL SOSIOLOGI GENDER
Membangun Fiqh Berkeadilan Gender
Kehadiran Islam
yang dibawa oleh Rasulullah Saw. membawa perubahan yang cukup mendasar
berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara perlahan perempuan
mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya berbagai bentuk penindasan
terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya (Asghar,1994 : 28 - 29 ) .
Secara normatif Islam memandang sama dan sederajat antara
laki-laki dan perempuan. Banyak ayat al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa
laki-laki dan perempuan adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama
secara spiritual. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat
laki-laki dan perempuan.
Salah
satunya tersebut dalam surah al-Hujârah ayat 13 :
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat
tersebut merupakan ayat demokratik dan egalitarian yang merupakan salah satu
prinsip dasar Islam. Selanjutnya Munawir Sjadzali menegaskan bahwa prinsip yang
dimaksud adalah persamaan antara sesama manusia, tanpa ada perbedaan derajat
atau tingkat yang didasarkan atas kebangsaan, kesukuan dan keturunan. Di mata
Allah semua manusia itu mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan
yang lain. Orang Arab tidak lebih tinggi dari orang non Arab, dan yang membedakan
tingkat antara mereka adalah kadar ketakwaan kepada Allah (Munawir,
1997 : 58 – 59)
Lebih
lanjut Munawir menjelaskan, hal yang tampak kurang mendapat perhatian berkenaan
dengan ayat tersebut adalah isyarat tentang persamaan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan yang merupakan asal dari ummat manusia yang kemudian
berkembang menjadi banyak bangsa dan suku (Munawir, 1997 : 58 – 59)
Dalam Ensiklopedia
Sirah yang disusun oleh Afzalur Rahman tertulis, persamaan laki-laki dan
perempuan terdapat dalam semua aspek kehidupan, tetapi dalam persamaan tersebut
terdapat perbedaan berdasarkan peranan mereka yang khusus dalam kehidupan
disebabkan oleh perbedaan fisiologis, biologi dan psikologi antara keduanya
(Afzalur Rahman, 1993 : 68). Dari perbedaan tersebut yang kemudian berimbas
pada perbedaan peran dan tanggungjawab dalam kehidupan di keluarga dan
masyarakat.
Persepsi
terhadap perempuan di kalangan umat Islam menarik untuk dicermati berkaitan
dengan interpretasi yang telah terbiaskan oleh emosionalitas dan subyektivitas
penafsir. Meskipun al-Qur’an adalah abadi dan berlaku universal, namun
interpretasi terhadapnya tak luput dari sesuatu yang relatif dan subyektif.
Armahedi Mahzar dalam tulisan pengantar pada buku Wanita di dalam Islam karya Fatima Mernisi, membenarkan adanya
relatifitas dalam penafsiran, khususnya penafsiran ayat-ayat perempuan. Hal
tersebut berkaitan dengan perkembangan historis berbagai mazhab kalam, fiqih
dan tasawuf.
Dalam buku-buku tentang perempuan yang terbit belakangan,
dengan mudah ditemukan pandangan-pandangan stereotype
mengenai perempuan, sebagaimana kutipan berikut, :
“..... Pandangan Islam
menyamakan kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan baik hak maupun
kewajibannya. Islam menetapkan agar laki-laki menyangga tugas mencari nafkah,
melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan
keluarga. Adapun terhadap perempuan, Islam menetapkan sebagai penenang suami,
sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak-anak dan menjaga harta benda suami
serta membina etika keluarga di dalam pemerintahan terkecil “(Muhammad Jamal, 1995 : 85).
Kitab ‘Uqudu
al-Lujain fî al-Bayan Huqûdu az-Zaujaini, karya Muhammad Umar an-Nawawi,
seorang ulama dari Banten telah banyak menceritakan mengenai hak dan kewajiban
suami istri untuk membina keluarga bahagia. Kitab tersebut dijadikan contoh
fiqih perempuan yang ada dalam masyarakat. Dan nampaknya dalam kitab tersebut
terdapat pandangan-pandangan yang tipikal yang sering dijumpai dalam masyarakat
mengenai hak dan kewajiban perempuan
(Munawar-Rachman, 1996 : 15 – 18).
Seraca teliti dan komprehensif, Masdar Farid Mas’udi
dalam risetnya tentang Sosok Perempuan
diantara Lembaran Kitab Kuning, 1993, mampu menguak ketidakadilan fiqih
dalah hal-hal seperti “Perempuan separo harga laki-laki”, “Perempuan sebagai
obyek dan sekaligus sebagai makhluk domestik”, yang kerjanya di dapur, sumur
dan kasur.
Selanjutnya
agenda penting yang layak dikedepankan adalah, mengapa fiqih sangat
diskriminatif terhadap perempuan? Pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab.
Namun demikian setelah ditelusuri secara lebih mendalam semakin tampak jelas
akar persoalannya, yaitu sejarah awal pertumbuhan dan perkembangan wacana
fiqih. Dari sini dapat disimpulkan bahwa fiqih pada saat itu adalah fikih
patriarkhi, yaitu rumusan fiqih yang penuh dominasi dan aturan dari kaum
laki-laki.
Menyimak akar persoalan seperti itu tak mengherankan
kalau banyak kalangan menilai fikih yang ada sekarang ini, selain penuh
diskriminatif dan ketidakadilan, juga lebih bersifat asimetris (Kompas, 7 November 1998). Asimetris dalam pengertian bahwa secara paradigmatik, fiqih selalu
berpusat pada laki-laki. Secara operasional, kandunganya pun mengandung
pengertian-pengertian kelelakian, sementara secara struktural, male bias, yaitu mengandung kepentingan
laki-laki.
Tokoh-tokoh feminis Islam yang telah mencoba melakukan
pembacaan ulang terhadap wacana fiqih perempuan diantaranya adalah Asghar Ali
Engineer, Fatima Mernisi, Rifaat Hasan, Aminan Wadud Muhsin dan tak ketinggalan
pula cendekiawan Indonesia turut memperbincangkan wacana tersebut.
Dari
paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa hak-hak perampuan dalam
perkawinan yang terdapat dalam fiqih perempuan adalah produk budaya patriarkhi.
Dominasi laki-laki begitu besar dan menentukan dalam penyusunan kitab-kitab
fiqih, khusus-nya yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga yang nampak dari
fiqih tersebut adalah wajah diskriminasi dan ketidakadilan. Karena itu adalah perlu
sebuah upaya rekonstruksi atas fiqih perempuan yang mempunyai semangat kesetaraan
yang merupakan pesan Qur’an (Munawar-Rahman, 1996 : 181).
makasih yaa atas blog ini, guna dapat memenuhi tugas perkuliahan saya. sekali lagi saya ucapkan terima kasih
BalasHapus