Senin, 21 Juli 2014

Membangun Fiqh Berkeadilan Gender



NAMA            : MOHAMAD YASIR
KELAS           : SOSIOLOGI b / VII
TUGAS ARTIKKEL SOSIOLOGI GENDER

Membangun Fiqh Berkeadilan Gender

Kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. membawa perubahan yang cukup mendasar berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara perlahan perempuan mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya berbagai bentuk penin­dasan terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya (Asghar,1994 : 28 - 29 ) .   
            Secara normatif Islam memandang sama dan sederajat antara laki-laki dan perempuan. Banyak ayat al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat laki-laki dan perempuan.
            Salah satunya tersebut dalam surah al-Hujârah ayat 13 :
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat tersebut merupakan ayat demokratik dan egalitarian yang merupakan salah satu prinsip dasar Islam. Selanjutnya Munawir Sjadzali menegaskan bahwa prinsip yang dimaksud adalah persamaan antara sesama manusia, tanpa ada perbedaan derajat atau tingkat yang didasarkan atas kebangsaan, kesu­kuan dan keturunan. Di mata Allah semua manusia itu mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lain. Orang Arab tidak lebih tinggi dari orang non Arab, dan yang membe­dakan tingkat antara mereka adalah kadar ketakwaan kepada Allah (Munawir, 1997 :  58 – 59)
Lebih lanjut Munawir menjelaskan, hal yang tampak kurang mendapat perhatian berkenaan dengan ayat tersebut adalah isyarat tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan asal dari ummat manusia yang kemudian berkembang menjadi banyak bangsa dan suku (Munawir, 1997 :  58 – 59)
            Dalam Ensiklopedia Sirah yang disusun oleh Afzalur Rahman tertulis, persamaan laki-laki dan perempuan terdapat dalam semua aspek kehidupan, tetapi dalam persamaan tersebut terdapat perbedaan berdasarkan peranan mereka yang khusus dalam kehidupan disebabkan oleh perbedaan fisiologis, biologi dan psikologi antara keduanya (Afzalur Rahman, 1993 : 68). Dari perbedaan tersebut yang kemudian berimbas pada perbedaan peran dan tanggungjawab dalam kehidupan di keluarga dan masyarakat.
Persepsi terhadap perempuan di kalangan umat Islam menarik untuk dicermati berkaitan dengan interpretasi yang telah terbiaskan oleh emosionalitas dan subyektivitas penaf­sir. Meskipun al-Qur’an adalah abadi dan berlaku universal, namun interpretasi terhadapnya tak luput dari sesuatu yang relatif dan subyektif. Armahedi Mahzar dalam tulisan pengan­tar pada buku Wanita di dalam Islam karya Fatima Mernisi, membenarkan adanya relatifitas dalam penafsiran, khususnya penafsiran ayat-ayat perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan historis berbagai mazhab kalam, fiqih dan tasaw­uf.
            Dalam buku-buku tentang perempuan yang terbit belakan­gan, dengan mudah ditemukan pandangan-pandangan stereotype mengenai perempuan, sebagaimana kutipan berikut, :

“..... Pandangan Islam menyamakan kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan baik hak maupun kewajibannya. Islam menetapkan agar laki-laki menyangga tugas mencari nafkah, melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan keluarga. Adapun terhadap perempuan, Islam menetapkan sebagai penenang suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak-anak dan menjaga harta benda suami serta membina etika keluarga di dalam pemerin­tahan terkecil “(Muhammad Jamal, 1995 : 85).

            Kitab ‘Uqudu al-Lujain fî al-Bayan Huqûdu az-Zaujaini, karya Muhammad Umar an-Nawawi, seorang ulama dari Banten telah banyak menceritakan mengenai hak dan kewajiban suami istri untuk membina keluarga bahagia. Kitab tersebut dijadi­kan contoh fiqih perempuan yang ada dalam masyarakat. Dan nampaknya dalam kitab tersebut terdapat pandangan-pandangan yang tipikal yang sering dijumpai dalam masyarakat mengenai hak dan kewajiban perempuan (Munawar-Rachman, 1996 : 15 – 18).
            Seraca teliti dan komprehensif, Masdar Farid Mas’udi dalam risetnya tentang Sosok Perempuan diantara Lembaran Kitab Kuning, 1993, mampu menguak ketidakadilan fiqih dalah hal-hal seperti “Perempuan separo harga laki-laki”, “Perempuan sebagai obyek dan sekaligus sebagai makhluk domestik”, yang kerjanya di dapur, sumur dan kasur.
Selanjutnya agenda penting yang layak dikedepankan adalah, mengapa fiqih sangat diskriminatif terhadap perempuan? Pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab. Namun demikian setelah ditelusuri secara lebih mendalam semakin tampak jelas akar persoalannya, yaitu sejarah awal pertumbu­han dan perkembangan wacana fiqih. Dari sini dapat disimpulkan bahwa fiqih pada saat itu adalah fikih patriarkhi, yaitu rumusan fiqih yang penuh dominasi dan aturan dari kaum laki-laki.
            Menyimak akar persoalan seperti itu tak mengherankan kalau banyak kalangan menilai fikih yang ada sekarang ini, selain penuh diskriminatif dan ketidakadilan, juga lebih bersifat asimetris (Kompas, 7 November 1998). Asimetris dalam pengertian bahwa secara paradigmatik, fiqih selalu berpusat pada laki-laki. Secara operasional, kandunganya pun mengandung pengertian-pengertian kelelakian, sementara secara struktural, male bias, yaitu mengandung kepentingan laki-laki.
            Tokoh-tokoh feminis Islam yang telah mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap wacana fiqih perempuan diantaranya adalah Asghar Ali Engineer, Fatima Mernisi, Rifaat Hasan, Aminan Wadud Muhsin dan tak ketinggalan pula cendekiawan Indonesia turut memperbincangkan wacana tersebut.
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa hak-hak perampuan dalam perkawinan yang terdapat dalam fiqih perempuan adalah produk budaya patriarkhi. Dominasi laki-laki begitu besar dan menentukan dalam penyusunan kitab-kitab fiqih, khusus-nya yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga yang nampak dari fiqih tersebut adalah wajah diskriminasi dan ketidakadilan. Karena itu adalah perlu sebuah upaya rekon­struksi atas fiqih perempuan yang mempunyai semangat kesetar­aan yang merupakan pesan Qur’an (Munawar-Rahman, 1996 : 181).

1 komentar:

  1. makasih yaa atas blog ini, guna dapat memenuhi tugas perkuliahan saya. sekali lagi saya ucapkan terima kasih

    BalasHapus