Senin, 21 Juli 2014

ringkasan materi tasawuf 2



NAMA            : MOHAMAD YASIR
NIM                : 1210105067
SOSIOLOGI
1.      Tasawuf Sunni
Tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Tokoh tokoh yang menonjol pada masa ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi dan al-Ghazali. Mereka membawa tasawuf kearah aliran sunni. Dengan demikian, pada abad kelima Hijriyah ini, tasawuf sunni berada pada posisi yang menentukan yang memungkinkannya tersebar luas di kalangan dunia islam dan membuat fondasinya terpancang begitu dalam untuk jangka lama pada berbagai masyarakat islam. Al-Qusyairi (w. 465 H) adalah salah seorang tokoh utama sufi yang kedudukannya demikian penting, mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf abad ketiga dan keempat Hijriyah yang membuat terpeliharanya pendapat dan khasanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis. Karya dari al-Qusairi yang terkenal adalah al-Risalah al-Qusyairiyah. Al-Harawi dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti al-Busthami dan al-Hallaj. beliau juga seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan yang mirip dengan teori al-Junaid. Karyanya yang paling terkenal adalah Manazil al-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin. Dalam karyanya yang ringkas tersebut, beliau menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah sufi, dimana tingkatan-tingkatan itu menurutnya mempunyai awal serta akhir. Dalam islam,al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf sunni, yakni tasawuf yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga berdasarkan kehidupan yang asketis,kehidupan yang sederhana, dan pendidikan maupun pembinaan jiwa. Karya al-Ghazali yang paling terkenal adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din. Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan penulisan kitab-kitab tasawuf di sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qulbi Fi Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky [meninggal di baghdad tahun 386 H]. Dalam pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat, sebagaimana yang dirintis oleh para ulama tasawuf pendahulunya. Sitem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoritas serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf. Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang sering dinisbatkan kepada nama penciptanya [gurunya], atau sering pula dinisbatkan kepada lahiarnya kegiatan tarekat itu.
2.      Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagau sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlaq manusia, atau dalam bahasa sosialnya yaitu moralitas masyarakat. Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi marupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.didalam diri manusia juga ada potensi-potensiatau kekuatan-kekuatan yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsuyang cenderung kepada keburukan. Jadi tasawuf akhlakqi akan berkonsentrasi pada teori-teori perilaku dan perbaikan akhlaq.
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik hingga modern sering digandrungi orang karena penampilan paham yang tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam terutama di negara yang dominan bermadzhab syafi’i. Adapun tokoh dari tasawuf akhlaqi ini dianntaranya Hasan Al-Bashri (21-110 H), Al-Muhasibi (165-243 H), Al-Qusyairi (376-465 H), dan Al-Ghazali (450-505 H)
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain :
v  Melandaskan diri pada Al-qur’an dan As-Sunnah
v  Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat
v  Lebih bersifat mengajarkan dualisme hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme disini adalah ajaran yang mengakui bahwameskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda diantara keduanya. Sedekat apapun manusia dekat dengan Tuhan tidak lantas dapat menyatu dengan Tuhan.
v   Kesinambungan hakikat dengan syari’at lebih terkonsentrasipada soal pembinaan, pendidikan akhlaq dan pengobatan jiwa dengan carariyadhah (latihan mental).
3.      Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Tasawuf filosofis menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu tsaswuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat telah membuat ajaran-ajaran  tasawuf filosofis bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filosofis begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi filsafat yang maknnya telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.
Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (dari Cardova, Andalusia; w.319/1931). Ia adalah filosof pertama yang muncul di Andalusia dan sekaligus ia disebut sebagai filosof sufi pertama di dunia Islam. Ia menganut paham emanasi Plotinus (w. 270 M) Tingkatan-Tingkatan wujud yang memancar dari Tuhan, dalam pahamnya, adalah materi pertama yang bersifat rohaniyah, kemudian akal universal, diikuti jiwa universal, kemudian natur universal, dan terakhir materi kedua yang bersifat murakkab [tersusun]. Menurutnya, melalui jalan tasawuf, manusia dapat melepaskan jiwanya dari belengu penjara badan, dan memperoleh karunia Tuhan. Itulah makrifat yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut paham bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat rohaniah spiritual.
Sufi kedua yang juga berpengetahuan luas dalam bidang filsafat, adalah uhrawandi Al-Maqtul (dari Suhrawandi, Persia; dibunuh di Aleppo pada 587/1191) Ia juga menganut paham emanasi Al-Farabi atau Ibn Sina. Tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaannya pada pengajaran Ibn Arabi (sufi Andalusia, wafat di Damaskus pada 638/1240). Dengan pengetahuannya yang amat kaya, baik dalam lapangan keislaman maupun dalam lapangan filsafat, ia berhasil membuat karya tulis yang luar biasa banyaknya [di antaranya, futuhat Al-Makkiyah dan Fushuh Al-Hikam]. Hampir semua praktik, pengajaran dan ide-ide yang berkembang dikalangan kaum sufi diliputinya dengan penjelasan-penjelasan yang memadai. Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya, wujud itu hanyalah satu; itulah wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri. Itulah Yang Mahabenar (Al-Haqq) atau Tuhan. Alam yang banyak ini tidaklah berwujud dengan wujud alam sendiri, tetapi alam ini berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam adalah satu, buakn dua atau banyak. Alam yang banyak dan beragam ini merupakan manifestasi atau penampakan diri wujud yang satu itu.
4.      Tasawuf Syi’i
Tasawuf aliran ini didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan. Kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikit Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawiyyah bin Abu Sufyan), para pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya. Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini terdapat keserupaan, khususnya dalam persoalan “qhutb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, qhutb adalah puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Isma’iliyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga, tentang pakaian compang-camping yaitu disebut-sebut berasal dari Imam Ali.
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan Sunni dalam persoalan tasawuf. Dengan alasan pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang dikenal dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Di dalam tradisi Syi’ah, dua aliran tasawuf akhlaqi dan falsafi juga diadopsi. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushul Hikam, tetapi orang Syi’ah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sunni. Bahkan, banyak juga orang Syi’ah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.
Di sisi lain, Ath-Thabathaba’i mencoba menjelaskan bahwa tasawuf pada dasarnya berasal dari Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu makrifat atau tasawuf seperti diamati pada masa kini, mula-mula timbul dalam dunia Sunnah kemudian di kalangan kaum Syi’ah. Orang yang menyaakan dsecara terbuka sebagai sufi dan penganut ilmu makrifat, dan diakui sebagai mursyid atau guru rohani dari tarekat orang-orang sufi, dalam bidang fiqh Islam tampaknya mengikuti faham Sunni. Banyak mursyid yang mengikuti mereka dan menyebarkan ajaran tarekat yang juga pengikut Sunni dan fiqh. Walaupun begitu, para mursyid ini menarik mata rantai silsilah kerohanian mereka, yang dalam kehidupan rohani seperti silsilah keturunan dari seseorang, melalui mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada Ali, juga hasil kasysyaf [vision] dan ilham mereka, seperti diriwayatkan, kebanyakan memuat kebenaran mengenai keesaan Ilahi dan martabat kehidupan rohani, yang terdapat dalam ucapan-ucapan Ali dan para Imam Syi’ah lainnya.
Hal ini bisa kita lihat, jika tak terpengaruh oleh beberapa ungkapan tajam dan kadang-kadang mengejutkan dari para guru tasawuf ini dan merenungkan kesekuruhan isi ajaran-ajaran mereka dengan tenang dan sabar. Kewalian sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian yang dianggap oleh para sufi sebagai kesempurnaan manusia, adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syi’ah dipunyai sepenuhnya oleh Imamdan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Dan puncak kerohanian [quthub] yang kehadirannya dianggap perlu oleh semua kaum sufi di sepanjang zaman sebagaimana juga sifat-sifatyang dikaitkan dengannya̶ ̶ ̶ ada pertaliannya dengan konsepsi kaum Syi’ah mengenai Imam. Sesuai dengan ucapan ahlul bait, imam, atau menurut istilah kaum sufi, “Manusia Universal”, adalah manifestasi nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian terhadap kehidupan dan perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata dengan mempertimbangkan knsepsi kaum Syi’ah mengenai walayat, bahwa dari sudut pandangan bentuk lahiriah agama, mereka mengikuti mazhab fiqh Sunni.
Perlu disebutkan di sisni bahwa dalam uraian-uraian Sunni klasik kadang-kadang dikatakan bahwa metode kerohanian dari thariqah atau cara-cara yang dapat menyampaikan seseorang pada pengetahuan dan kesadaran tentang dirinya tidak bisa diterangkan melalui bentuk-bentuk dan ajaran yang lahir dari Syari’at. Bahkan, sumber-sumber bahwa pribadi-pribadi muslim sendiri menemukan berbagai metode dan amal, yang kemudian diteriama Tuhan, seperti halnya kehidupan biara dalam agama Nashrani. Oleh karena itu, para mursyid menyusun amalan-amalan tertentu yang dianggap perlu dalammetode kerohanian, seperti bentuk upacara penerimaan murid oleh mursyid, rinci-rinci cara yang di dalamnya dzikir-dzikir diajarkan kepada sang murid baru bersama pengenalan jubah kepadanya, dan pengguan musik, nyanyian dan cara-cara lain yang menyebabkan fana’(ekstase) selama mentebutkan nama-nama Tuhan.
5.      Thareqat
Pada mulanya thariqat itu belum ada dalam agama Islam, akan tetapi, untuk memasuki dunia shufi atau tashawuf memerlukan suatu cara atau jalan agar dapat mencapai tujuan utama yang ingin dicapai seseorang dalam lapangan tashawuf. Dari situ maka timbullah cara pendakian dari suatu maqam  ke maqam lainnya yang disebut thariqat.
Timbulnya thariqat dalam tasyawuf pada mulanya disebabkan oleh adanya pengalaman dan pandangan para tokoh shufi yang beraneka macam meskipun pada hakkikatnya bertujuan sama. Jalan yang mereka tempuh untuk mencapai tujuan antara satu dengan yang lainnya berlainan,termasuk juga berbeda dengan yang ditempuh oleh ulama’ salaf, mutakallimun, dan para filosof.
Dalam hal tingkah laku orang-orang sufi, terdapat ciri-ciri yang sekaligus merupakan sifat dari mereka. Sebagaimana uraian tokoh shufi terkenal Abu Hafas  Syihabuddin Umar bin Muhammad bin Abdillah bin ‘Amawih As Suhrawardi yang mengatakan bahwa tingkah laku orang mutashawwifin ada dua sebagaimana terkandung dalam Al-quran (Q.S. Syura:13). Keadaan yang pertama adalah mahbubun-muroodun, yaitu orang yang dicintai dan di kehendaki tuhan. Yang kedua adalah jalannya orang yang disebut muhibbun muriddun, yaitu orang-orang yang cinta pada Allah dan menyiapkan dirinya menuju jalan Allah.
Selanjutnya thariqat atau jalan untuk memasuki tasawuf ada beberapa cara. Oleh karena kaum shufi dalam mencapai ma’rifat tidak dari kitab dan guru,  melainkan dnegan menjalankan dan melaksanakan tashawuf dengan segala latihan, maka thariqat yang ditempuh adalah:
a.       Tajarrud, yaitu melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia fana’ ini sebab dunia selalu melalaikan serta mengganggu manusia dalam beribadah kepada Allah.
b.      Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri dari simpang siur pergaulan dunia.
c.       Faqr, yaitu tiada mempunyai apa-apa dalam kategori hitungan dunia.
d.      Dawamus sukut, yaitu tiada berkata kata yang tiada bermanfaat.
e.       Qilatul akli/dawamus shoum, maksudnya sedikit makan inklusif minum.
f.       Dawamus sahr/qiyamullail, maksudnya senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan memperbanyak berdikir, tashbih, tahlil, dan dzikir-dzikir lainnya. Safar, yaitu pergi berkelana, tana membaw bekal apa-apa. Di sini dimaksudkan untuk menyempurnakan ilmu dari ajaran thariqat yang diberikan gurunya.
                    
6.      Kemunduran tasawuf abad 8 H
Pada abad ke 8 ini tasawuf mengalami kemunduran yang disebabkan oleh konflik internal tasawuf sendiri. Selain itu seluruh dunia Islam bagian timur dan tengah sudah dikuasai bangsa Tartar dari mongol, sedangkan bagian barat sudah dikuasai oleh Nasrani dari Eropa. Namun hal ini tidak menurunkan semangat para ahli tasawuf, terbukti dengan masih adanya beberapa ahli tasawuf yang melakukan kegiatan tarekat dan menulis beberapa kitab. Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada abad ini antara lain :
v  Ibnu Taymiyyah (wafat 728 H), mengembangkan madzhab hanbali dan menolak taklid, kurafat, maupun bid’ah.
v  Ibnu ‘Ataillah  Al-Sukandari (wafat 709 H), pengikut tarekat shajiliyyah.
v  Ibnu Al-Qayyim Al-jawziyyah (wafat 751 H), mewarisi ajaran dari Ibnu Taymiyyah.
v  Bahaw Al-Din Al-Naqshabandi (wafat 791 H), mengamalkan tarekat naqshabandiyyah.
v  Abdu Al-KarimAl-_jilli (wafat 820 H), pengikut ajaran wahdatul wujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar