Senin, 21 Juli 2014

Pemikiran Islam Empat Mazhab Indonesia (M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Jalaluddin Rahmat)



Pemikiran Islam Empat Mazhab Indonesia (M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Jalaluddin Rahmat)
31 Januari 2012 pukul 17:13
Ditulis oleh Mujtahid    Sabtu, 29 Oktober 2011 05:47

PETA pemikiran Islam kontemporer di Indonesia terjadi pada penguhujung abad XX. Kenyataan ini sempat menjadi heboh, karena munculnya beberapa tokoh yang sebelumnya sama sekali tidak diprediksikan. Para cendekiawan tersebut dengan serta merta menunjukkan apresiatifnya terhadap wacana keislaman secara tajam.
Sikap apresiatif terhadap wacana keislaman itu adalah diwakili keempat tokoh; Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurraman Wahid dan Jalauluddin Rahmat. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya mereka telah menuangkan ide dan gagasan segarnya sebagai sumbangan pemikiran keislaman yang sangat berguna bagi pengembangan umat beragama di Indoensia. Lebih dari itu, mereka amat dekat dengan publik dan dunia pers. Hampir tidak ada waktu luang bagi mereka untuk menyendiri.
Mereka memiliki reputasi yang sangat tinggi baik di kalangan bawah. Hanya saja mereka mempunyai simplifikasi tertentu yang membuat mereka dapat berkomunikasi dengan komunitasnya. Nurcholish Madjid misalnya, ia lebih dekat dengan kaum intelektual, begitu juga Amien Rais, di samping ia memiliki basis konstuennnya di kalangan Muhammadiyah. Hal serupa juga tidak kalah reputasinaya dengan ketokohan Abdurrahman Wahid dan Jaluluddin Rahmat. Dari keempat tokoh itu, dua di antaranya sudah kembali kepada Sang Pencipta, ialah Nurcholish Madjid dan  Abdurrahman Wahid.
Tulisan ini akan sedikit mendeskripsikan tentang pemikiran keislaman dari keempat tokoh tersebut ketika semasa masih hidupnya. Keempatnya sama-sama memiliki keunikan, gaya dan karakter yang khas. Beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa dari keempat tokoh ini masing-masing mempunyai gaya penyapaian pesan yang berbeda-beda dalam menyapa umatnya.
A.
Sketsa Biografi
<p>1. Amien Rais</p>Sebagai seorang tokoh muslim, Amien cenderung apresiatif terhadap masalah-masalah politik. Meskipun demikian, ia tidak lupa dengan komitmennya dengan ajaran agama yang puritan. Bahkan hampir tidak ada celah-celah kehidupan ini yang tidak dikaitkan dengan nilai agama. Karena agama merupakan landasan yang amat fundamental, menyeluruh dan bukan sepotong-potong. Dalam sebuah pernyataannya ia pernah melontarkan sebuah keyakinan bahwa "jangan dilupakan bahwa tauhid juga menuntut ditegakkannya keadilan sosial, kerena dilihat dari kacamata tauhid, setiap segala eksploitasi manusia atas manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan Allah. Secara demikian jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin yang selalu disertai kehidupan eksploitatif merupakan fenomena yang tidak tauhid, bahkan anti-tauhid". Pernyataan Amien ini dilontarkan, ketika ia mengkritik keras kasus busang di Kalimantan Timur. Menurut keyakinannya, bahwa skandal busang merupakan bentuk eksploitatif yang tersistematis.
Amien Rais dilahirkan di Solo 26 April 1944, putra pasangan Suhut Rais dan Suhaimiyah. Sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah dan kultur pendidikan. Ayahnya adalah aktivis Muhammadiyah sekaligus Kepala Pendidikan Agama Wilayah Surakarta. Begitu juga dengan ibunya, ia mengajar di Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGKP) Muhammadiyah. Jadi, kehidupan Amin betul-betul terbentuk dalam kultur pendidikan.
Sebagai putra aktivis Muhammadiyah, Amien memperoleh warisan budaya dari orangtuanya. Sejak pendidikan TK sampai SMA, ia sekolah di lingkungan Muhammadiyah. Semula, orangtuanya bercita-cita supaya Amin menjadi kiai atau ustad. Karena itu, sejak kecil ibunya selalu membangunkan sebelum waktu subuh untuk membaca al-Qur'an setiap hari dan melarang meninggalkan shalat.
Warisan dari orangtuanya itu ternyata terjiwai dengan sepenuh hati. Dengan penuh kesadaran, Amin gemar melakukan ibadah. Sikap kesadaran itu menumbuhkannya pada sikap kritis terhadap segala persoalan, yang semuanya itu termasuk bagian dari ibadah.
Setamat SMA Muhammadiyah di Solo, Amien kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol), UGM, Yogyakarta pada 1962. Masuk Jurusan Ilmu Politik, diakui Amien memang bukanlah cita-cita yang diniatkan semula. Sebab sebagaimana yang sudah disinggung semula, sejak kecil ibunya sudah menanamkan doktrin agar supaya saat kuliah ke Al- Azhar. Tetapi, seperti sudah diakui Amien sendiri, bahwa masuk ke UGM merupakan takdir. Di samping di UGM, Amien merangkap di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan memperoleh gelar Sarjana Muda tahun 1967. Sedangkan pada 1968 Amien menamatkan di Universitas bergengsi itu. Sejak itu pula ia kemudian mendaftarkan diri sebagai tenaga edukatif pada almamaternya.
2. Nurcholish Madjid
Sebagai tokoh intelektual, Nurcholish Madjid (Cak Nur) memiliki pemahaman keagamaan yang terbuka. Ia selalu mengembangkan proses keagamaan itu sebagai pembebasan. Yakni membebaskan diri dari segala kekuatan tirani yang membelenggu kebebasan kita. Pada usianya yang muda ia sudah mengguncang wacana pemikiran Islam di tanah air. Berangkatdari dunia pesantrenyangtradisional ia justru menyadarkan masyarakat Indonesia modern akan pentingnya keberanian menyuarakan moralitas politik. Dan, belakangan ia menganggap berpolitik tidak mungkin tanpa keberanian, kejujuran dan keikhlasan untuk selalu menerima kritikan dari mana pun.
Cak Nur dilahirkan di Mojoanyar-Jombang pada 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya bernama Abdul Madjid, seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang. Ayahnya murid pendiri NU yang kharismatik itu. Lebih dari itu, ayahnya dinikahkan dengan Halimah, seorang wanita keponakan gurunya.
Sketsa singkat latar belakang Cak Nur cukuplah untuk menunjukkan bahwa ia lahir dari subkultur pesantren. Cak Nur mengakui bahwa ia pertama kali beragama lewat ayah dan ibunya sendiri. Kebetulan mereka berdua memang mendirikan Madrasah sendiri pada tahun 1948 dan Cak Nur adalah salah seorang muridnya. Selain itu, ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya.
Selanjutnya, setamat SR 1952 ia di masukkan ayahnya ke pesantren Darul Ulum, Rejoso Jombang. Namun, di Darul Ulum Cak Nur hanya bertahan selama dua tahun dan sempat menyelesaikan tingkat Ibtidaiyah, lalu melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah. Ada dua alasan, yang menurut Cak Nur, mengapa ia hanya bertahan dua tahun nyatri di sana. Pertama, karena kesehatan dan Kedua, karena ideologi atau politik.
Namun, tampaknya alasan politiklah yang agaknya cukup menarik melihat sikap Cak Nur tersebut. Seperti kita tahu, pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan sejak itu NU barubah peran dari jam'iyah keagamaan menjadi partai politik. Ayah Cak Nur secara bersamaan aktif di organisasi tradisional Islam NU berpisah secara politis dengan Masyumi tahun 1952, ayahnya tetap memilih Masyumi dan mengirim anaknya dari pesantren tradisional ke sekolah modern yang masyhur Gontor. Saat itu, ayah Cak Nur yang kebetulan aktivis berat Masyumi merasa ‘kecewa' kepada NU ketika organisasi itu keluar dari Masyumi dan membentuk partai politiknya sendiri. Karena ulah sang ayah inilah, Cak Nur sering diledek teman-temannya yang NU sebagai "anak Masyumi kesasar".
Cak Nur mengakui bahwa di gontor ia selalu meraih prestasi yang cukup baik. Dan kecerdasan Cak Nur ini rupanya ditangkap pula oleh Pimpinan Pesantren KH. Zarkasyi. Sehingga pada 1960, ketika Cak Nur menamatkan belajarnya, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Tetapi karena Kairo pada wakti itu sedang terjadi krisis Terusan Suez yang cukup kontroversial itu, keberangkatan Cak Nur sampai tertunda. Sambil menunggu keberangkatannya ke Mesir itulah, Cak Nur memanfaatkan untuk mengajar di Gontor selama satu tahun. Namun, waktu yang ditunggu-tunggu Cak Nur untuk berangkat ke Mesir ternyata tak kunjung tiba.
Pernah terbetik berita bahwa kala itu di Mesir memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Cak Nur pergi ke Mesir. Cak Nur sendiri, memang sempat kecewa. Tapi, pak Zarkasyi bisa ‘menghibur'nya dan rupanya tak kehilangan akal. Lalu ia mengirim surat ke IAIN Jakarta dan meminta agar murid kesayangannya bisa diterima di lembaga pendidikan tinggi Islam bergengsi itu. Maka berangkat dari salah satu alumni santri Gontor yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cak Nur kemudian diterima sebagai mahasiswa di sana, meskipun tanpa menyandang izajah negeri.

3. Abdurrahman Wahid
Sebagai cucu pendiri NU, Abdurrahman wahid (Gus Dur) memiliki legitemasi yang sangat kuat dari kalangan Nahdhiyin. Sosok pemikirannya sulit diterka dan dijangkau oleh manusia biasa. Dalam perjalanan kiprahnya, Gus Dur lebih dekat pada kaum termarginal dan kultural. Ia lebih terhibur dengan kelompok yang selama ini terpinggirkan oleh deru mesin pemerintahan. Gagasan yang sempat mencuat pada tahun 70-an Gus Dur adalah seorang penganut Humanisme.
Gagasan-gagasan yang digelindingkan adalah seputar wacana Kiri Islam. Meskipun berangkat dari alam tradisonal, ia memiliki informasi yang cukup luas. Dibandingkan dengan tokoh yang lain, Gus Dur mempunyai karakter yang agak controversial dan nyeleneh di pentas politik Indonesia.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar-Jombang 12 Agustus 1940, putra pasangan K.H. Wahid Hasyim. Meskipun sebagai putra Mentri Agama (1950), ia tidak merasa termanjakan dengan jabatan ayahnya. Justru, ia memilih tinggal bersama kakeknya (Bisri Syamsuri) di Jombang.
Gus Dur mempunyai kegemaran malahap buku-buku, dari buku yang bernafas agama sampai buku filsafat. Di samping itu, hobi yang sangat disenangi diantaranya adalah seni, olah raga dan musik. Tak heran kalau Gus Dur sering melespakan job-job segar yang membuat orang tertawa.
Pendidikan yang pernah dikenyak Gus Dur mulai dari pesantren (Denanyar dan Tegalrejo), SMEP Yogyakarta, sampai ke Al -Azhar Mesir. Di mesir, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang Syari'ah. Namun setelah tujuh tahun belajar, ternyataia merasa tak betah belajar di Mesir. Sebab menurutnya materi yang diajarkan di sana tak ubahnya ibarat pesantren. Di sana, ia lebih menyempatkan diri untuk membawa buku diperpustakaan di Kairo. Sedang waktu selebihnya, dimanfaatkan untuk nonton film yang bagus. Meski demikian, bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh paham "sosialisme yang berbudaya". Orang-orang Arab, menurut Gus Dur, sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya. Hal itu dilakukan karena mereka tak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama.
Merasa tak betah belajar di Mesir, Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas Bagdad, Fakultas Sastra. Di Universitas tersebut, Gus Dur merasakan kepuasan dan dapat mengoleksi referensi buku yang lebih lengkap.
Dari literatur itulah, Gus Dur kemudian mengapresiasikan ide-ide yang bercorak sosialisme dan marxisme. Sewaktu ia mengaku sudah membaca karya cukup radikal seperti Pemberontakan Petani. Berangkat dari pemehaman inilah Gus Dur berkeyakinan bahwa sosialisme lebih bertolak pada visi budaya daripada ideologis. Tak heran, karena apresiasi yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran sosilisme radikal, ia berpandangan itu merupakan perangkat analisis yang penting guna memahami keadaan.
4. Jalaluddin Rahmat
Indonesia memiliki karakteristik tokoh yang cukup heterogen, di antara sekian dari heterogenitas itu seperti yang nampak pada kefiguran Jalaluddin Rahmat. Pakar ilmu kamunikasi ini mempunyai kepiawiaan dalam bidang sufistik, di samping ia berpengaruh pada paham Syi'ah. Esei-esei tentang wacana spiritualitas amat kerap muncul, baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas, seperti di jurnal, majalah, koran dan sebaginya.
Jalaluddin Rahmat yang biasa dipanggil Kang Jalal, dilahirkan di Bojongsalam-Bandung pada 29 Agustus 1949. Sejak kecil sampai usia remaja ia tinggal di sana. Kang Jalal hanya memperoleh sentuhan belas kasih ibu (Sadja'ah) seorang, karena sang ayah telah meninggalkan Bandung ke Pulau Sumatera lantaran perjuangan sebagai aktivis Masyumi.
Pada usia yang relatif kecil, Kang Jalal sudah dapat menguasai bahasa arab di pesantren NU asuhan kiai Shidik. Di pesantren inilah Kang Jalal dididik oleh kiainya sampai bisa hafal Alfiyah Ubnu Malik. Bukan cuma itu, Shidik juga diakui Kang Jalal bersifat "liberal". Semula ia NU, lalu berubah menjadi Muhammadiyah dan berkiblat politik ke Masyumi. Sikap non-sektarian, dalam pengertian terbuka terhadap pelbagai mazhab dan sikap menghormati perbedaan pendapat yang akhir-akhir ini dikembangkan Jalal, barangkali tak lain merupakan jejak warisan yang diperoleh dari gurunya.
Setamat SD, Kang Jalal meninggalkan gurunya di kampung untuk mengadu nasip di Bandung. Di kota "Paris Van Java" ini, ia tinggal bersama Uwaknya. Tinggal di tempat orangtua ini, membuat Kang Jalal harus mebiasakan diri untuk hidup prihatin. Di sela-sela sekolah di SMP 3 Muslimin, Kang Jalal masih mencoba berjualan koran diseputar alun-alun Bandung. Tetapi karena keprihatinan itulah membuat Jalal rajin belajar, sehingga prestasinya tergolong baik di sekolah. Sejak di SMP ia selalu menjadi juara kelas. Dengan kepinteranya itulah Kang Jalal mendapat dipensasi uang sekolah.
Menginjak bangku SMA, kegemaran intelektual Kang Jalal semakin merambah cepet dan kegelisahannya sebagai anak muda yang selalu bertanya semakin kental. Kebetulan di SMA ia mempunyai teman diskusi yang cerdas bernama Helman. Dari hasil diskusi bersama Helma Kang Jalal disarankan untuk banyak membaca buku. Atas saran itu, timbullah semangat Kang Jalal untuk melahap buku-buku, dan buku yang sangat disenangi kala itu adalah buku Ihya Ulumuddin karya masterpiece Iman Al- Ghazali. Dari hasil bacaannya, ia memperoleh kesadaran baru yang selama ini belum terpikirkan. Bahkan dalam penuturannya, ia mengaku dalam dirinya seakan tengah bergolak semacam krisis intelektual dan spiritual yang benar-benar telah mengguncang penghayatannya dalam keberagamaan.
Dalam periode krisis itu, ia mengambil cara keluar dari sekolah lalu menerjunkan diri ditengah dunia pesantren. Waktu itu, ia perbandangan sekolah adalah pekerjaan sis-sia. Karenaanya ia memutuskan untuk belajar di pesantren dan hengkan dari sekolah. Walaupun demikian, Kang Jalal tetap bisa menyelesaikan sekolah SMA-nya. Sesudah tamat dari SMA Kang Jalal melanjutkan studinya di Fakultas Publisistik, Unpad yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi itu.
Di samping sebagai mahasiswa, ia menyempatkan waktunya untuk mencari tambahan biaya hidup. Selain itu, ia tetap mendalami ilmu-ilmu agama dalam aktivitas organisasi keagamaan. Dengan berbekal ilmu pesantren Persis, Kang Jalal dapat mengembangkan diskusi di kalangan muda persis.
Setelah sempat aktif di Persis, Kang Jalal merambah lagi ke Muhammadiyah, dengan alasan bahwa Persis dan Muhammadiyah memiliki persamaan doktrinal. Di situlah Kang Jalal mengikuti proses-proses pengkaderan Muhammadiyah (Darul Arqom ). Sebagai kader muda Muhammadiyah, Kang Jalal sangat berani berdakwah di kalangan NU tentang visi dan misi Muhammadiyah. Tak heran kalau ia merasa sangat bahagia ketika masjid Jami' dikampungnya menurunkan beduk dan menghilangkan azan awal pada hari jum'at.
Kehadiran sosok ‘baru' Kang Jalal dikampungnya, bukan saja menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar yang mayoritas NU, melainkan sempat juga memancing ketegangan di antara anggota keluarganya. Salah seorang saudara yang dekat dengan Jalal (H. odang) menuturkan bahwa dirinya sering bertengkar di tengah keluarga dengan lajal lantaran perbedaan paham. H. Odang yang berpaham NU, merasa terganggu atas kehadiran Kang Jalal dikampungnya.
Untuk menghindari konflik supaya tidak berlarut-larut, akhirnya keduanya sepakat membangun masjid masing-masing. Atas keberhasilan Kang Jalal, maka Muhammadiyah meminta dirinya untuk aktif bergabung dalam bidang Majelis pendidikan, pengajaran dan Kebudayaan (MPPK) Muhammadiyah daerah Kodya Bandung dan Majelis Tabligh Muhammadiyah wilayah Jawa Barat. Semua keberhasilan itu, Kang Jalal telah didukung dengan retorika yang sangat memukau dan ilustrasi yang menarik orang.
Dalam beberapa dekade terakhir, apalagi dengan ditandai maraknya penerbitan buku-buku keislaman, perkembangan pemikiran Islam di tanah air -mayoritas bermazhab Sunni- juga telah ikut diramaikan perkembangan pemikiran Islam bermazhab Syi'ah. Berbagai kelompok pengajian yang dinilai berorientasi Syi'ah pun banyak bermunculan di kaota besar di atanah air. Tak heran konflik antar mazhab pun terjadang menjadi kekhawatiran umat Islam yangtidak begitu terikat oleh sesuatu mazhab atau barangkali yang tidak begitu merisaukan.
Sebenarnya, awal apresiasi Kang Jalal kepada pemikir dari Iran yang notabene bermazhab Syi'ah setelah persentuhannya dengan buku-buku Iran yang dimulai ketika bersama Bagir dari ITB, dan K.H. Endang Saifuddin Anshary, MA. Ia diundang sebagai pada sebuah konperensi Islam di Kolombo, pada 1984. Dari situlah menurut Kang Jalal, ia memperoleh buku-buku Syi'ah.

B. Fokus Wacana Pemikiran
Wacana pemikiran Islam setidaknya bisa dipahami sebagai warisan budaya politik dan benturan endapan pribadi dengan kondisi struktural yang melingkupi biografi hidupnya. Kenangan masa lalu, gejolak masa kini dan harapan masa depan yang dibayangkan adalah jalan menuju pemahaman tekstual yang lebih mendalam dari sebuah arus atau gejolak pemikiran.
Meskipn keempat intelektual muslim di sini memiliki persamaan dalam mengagendakan tema-tema keislaman yang relevan dalam konteks perkembangan mutakhir, namun dalam beberapa hal mereka juga memiliki kecenderungan yang berbeda dalam hal titik berat pesannya. Hal ini beralasan mengingat latar belakang sosial, pendidikan, pengalaman, karakteristik dari masing-masing personal yang masing-masing memang berbeda.

1. Amien Rais
Amien adalah sosok yang sangat apresiatif terhadap pemikiran Islam puritan dari tokoh-tokoh ikhwan al- Muslimun dan jema'at al-Islami, dan pemikiran kaum modernis awal yang secara teologis dan ritual mempengaruhi Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga minat dibidang politik nasional dan internasional, merupakan titik berat kajian Amien. Berbagai pengamatan Amien yang intens mengenal pelbagai persoalan politik ditingkat internasional, khusunya Timur Tengah, merupakan bidang keahlian yang menonjol.
Dalam bidang pemikiran Islam, visi Amien merupakan counter terhadap gagasan modernisasi, sekulerisasi, dan liberalisasi. Bagi Amien, sikap yang demikian merupakan suatu "ancaman" yang harus diwaspadai oleh kaum muslim. Soalnya, sekulerisasi menurut Amien sesuatu yangtidak bisa dikompromikan dengan agama.
Sikap Amien yang kritis terhadap sesuatu yang ‘berbau' Barat mungkin bisa dipahami, mengingat pandangan-pandangan keislamannya yang serba alternatif. Kritik-kritik terhadap pahan leiberalisme dan sosialisme-marxisme dengan pisau analisis Islam, menempatkan posisi pada kelompok pembaruan Islamisasi. Titik berat pesan Amien dalam pembaruan adalah, bagaimana realitas dan pembaruan sosial ditundukkan oleh agama. Dan puncak segala sesuatu itu, bergantung pada semangat tauhid sebagai inti ajaran. Dalam usaha menundukkan realitas lewat syari'at inilah Amien menganjurkan untukbersikap kritis terhadap khurafat dan bid'ah tradsi dan nilai modern yang ‘jahili'. Laulu ia menawarkan tajdidi yang memang khas Muhammadiyah yaitu mengembalikan persoalan kepada al-Qur'an dan Sunnah.

Hal lain yang menjadi penekanan Amien ialah terhadap masalah keadilan sosial, Ijtihad Amien yang tergolong cukup berani ialah saat menawarkan zakat profesi sebesar 20 persen. Gagasan ini, tentu saja dilatarbelakangi ooleh komitmen Amien untuk selalu bersikap kritis terhadap masalah ketimpangan yang menggejala dikalangan umat Islam. Visi ini amat mempengaruhi pemikiran Amien untuk selalu bersikap kritis terhadap Muhammadiyah yang dewasa ini dipandang mandek.

2. Nurcholis Madjd
Secara disipliner, Cak Nur lebih menitik beratkan pada kajian filsafat Islam dan sosiologi modern (Barat), disamping giat mengakses kembali tradisi klasik Islam. Gagasan Cak Nur dalam pemikiran Islam menginginkan adanya persambungan Islam dengan kemoderenan. Umat Islam harus apresiatif terhadap kemoderenan.
Sementara itu, ia menganjurkan umat Islam agar memiliki respons terhadap Barat. Dengan melihat kenyataan sebenarnya seperti; Etos kerja, hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradabannya sekaligus. Bertolak dari idenya itu, ia menganjurkan supaya umat Islam dapat mengawinkan metodologi studi Islam klasik dengan studi Islam modern.
Gagasan ini mulai mantap ketika ia pulang dari Chicago dan memperoleh doktor dibidang filsafat Islam. Gagasan itu juga ditunjang berdasarkan sejumlah studi Islam klasik, sehingga kemoderenan diberi makna baru, dalam pengertian bahwa kemoderenan bukan lagi lawan tradisionalisme yang, dalam batang tubuh umat Islam, selalu dinisbatkan kepada pesantren. Kemoderenan menurut Cak Nur dipahami sebagai persambungan antara visi lama dengan visi baru.

3. Abdurrahman Wahid
Semenjak pulang dari Mesir, Gus Dur langsung terjun ke dunia pesantren, karena gagasan-gagasan awalnya ia berasal dari pesantren. Usaha memodernisasikan pesantren melalui berbagai kerjasama baik dengan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan garapan utama dan pertama Gus Dur. Di samping itu, ia mempunyai komitmen terhadap gagasan pengembangan masyarakat.

Tranformasi sosio-kultural bagi kalangan masyarakat bawah adalah obsesi yang demikain kental mewarnai berbagai pemikiran Gus Dur. Usahanya dalam membentuk BPR NU bekerjasama dengan Nusuma dan keterlibatannya diberbagai forum LSM, dalam dan luar negeri.
Sementara itu, Gus Dur dalam memandang realitas selalu mengaitkan dengan fiqh. Karenanya ia menampung segala persoalan dipecahkan melalui jalan kefiqhian bukan teologis. Salah satu keperpihakan Gus Dur adalah ia dekat dengan kaum pinggiran yang secara budaya adalah masyarakat tradisonal.

4. Jalaluddin rahmat
Jalaludin Rahmat menawarkan visi Islam yang menekankan pesan pada dimensi sosialnya. Selama ini umumnya visi Umat Islam lebih berdimensi ritual. Penghayatan semacam ini dinilai telah ikut mereduksi Islam dalam urusan sosial. Padahal, masalah sosial jauh lebih diperhatikan al-qur'an dan sunnah daripada yang ritual. Salah satu pemikirannya tentan Islam Aktual yang sekaligus merupakan salah satu judul bukunya yang datang belakangan menunjukkan adanga persambungan dan perkembangan visi Islam dalam dimensi sosial tadi.
Keperpihakan Jalal terhadap mustadh'afin merupakan salah satu visi keislamannya. Gagasan ini cukup sentral dan semakin kental, apalagi justifikasinya terhadap ide ini ditunjang oleh studi Islam Klasik yang cukup luas. Namun, harus segera ditambahkan, bahwa ide sentralnya bagi pemihakan terhadap mustadh'afin ini masih baru pada batas konseptual.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
sumber :
REPUBLIKA.CO.ID, -- Kerukunan internal umat seagama, Islam terutama, merupakan hal paling mendasar. Stabilitas kerukunan tersebut menjadi kunci bagi kerukunan secara nasional. Apalagi, menjelang Pemilu 2014.

Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Utang Ranuwijaya menyatakan, sebagai negara dengan mayoritas Islam, keharmonisan Indonesia bergantung dengan sikap umat Islam Indonesia.

Karena, dalam Islam pun dikenal persaudaraan internal ukhuwah Islamiyah terlebih dahulu, menyusul kemudian persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah), berikutnya persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). “Ukhuwah Islamiyah menjadi dasar ukhuwah lainnya.”

Utang menganggap ketidakharmonisan ukhuwah Islamiyah yang sering terjadi di akar rumput karena perbedaan mazhab dan perbedaan furu'iyah lain.

Ia menilai, ada persoalan komunikasi yang kurang baik disampaikan berbagai pihak di akar rumput terkait perbedaan khilafiyah ini.
Sehingga, masyarakat di akar rumput sering kali terprovokasi untuk memperkeruh suasana hanya karena perbedaan khilafiyah. “Ini yang kurang disadari,” ujarnya.

Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud menilai, hilangnya kesadaran para tokoh Islam menghargai permasalahan khilafiyah membuat intoleransi semakin rentan pada tahun politik 2014.

Dia mengungkapkan, dahulu wali dan para pendakwah berjualan sesuatu untuk agama, yang dirasakan adalah kedamaian.
Sekarang, sering kali yang terjadi tokoh Islam menjual agama untuk sesuatu, kursi atau jabatan, hasilnya konflik. “Serbaterbalik,” ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, dahulu tokoh Islam berbisnis sambil mengislamkan orang, tapi saat ini tokoh Islam berbisnis politik, tapi malah mengafirkan sesama Muslim, karena perbedaan khilafiyah.

Karenanya, pada tahun politik ini penting sesama tokoh dan pimpinan ormas Islam jangan sampai membuat sesama Muslim saling mengafirkan demi kepentingan sesaat.

Sedangkan, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir meminta peran tokoh agama dan ormas keagamaan penting dalam meredam konflik horizontal, terutama menjelang politik 2014.

Hanya dari tokoh agama dan ormas keagamaan yang bisa menjalankan fungsinya sebagai peredam konflik di tengah masyarakat. Ormas keagamaan juga berperan serta mendorong perdamaian serta kerja sama antarumat beragama.

Haidar yakin, solusi terbaik untuk mengantisipasi konflik keagamaan apakah karena perbedaan khilafiyah atau akidah, hanya melalui jalan dialog. Dialog yang terjadi pun harus berkualitas dilakukan secara sadar dan tulus serta bedampak efektif di akar rumput.

Setiap ada permasalahan keagamaan yang berprinsip dakwah, tidak bisa hanya dilakukan pendekatan hukum semata, tapi juga mendorong diri untuk saling menahan diri serta tidak mengedepankan anarkisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar