Pemikiran Islam Empat Mazhab
Indonesia (M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Jalaluddin
Rahmat)
31 Januari 2012 pukul 17:13
Ditulis oleh Mujtahid Sabtu, 29 Oktober 2011 05:47
PETA pemikiran Islam kontemporer di Indonesia terjadi pada penguhujung abad XX.
Kenyataan ini sempat menjadi heboh, karena munculnya beberapa tokoh yang
sebelumnya sama sekali tidak diprediksikan. Para cendekiawan tersebut dengan
serta merta menunjukkan apresiatifnya terhadap wacana keislaman secara tajam.
Sikap apresiatif terhadap wacana keislaman itu adalah diwakili keempat
tokoh; Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurraman Wahid dan Jalauluddin Rahmat.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya mereka telah menuangkan ide dan
gagasan segarnya sebagai sumbangan pemikiran keislaman yang sangat berguna bagi
pengembangan umat beragama di Indoensia. Lebih dari itu, mereka amat dekat
dengan publik dan dunia pers. Hampir tidak ada waktu luang bagi mereka untuk
menyendiri.
Mereka memiliki reputasi yang sangat tinggi baik di kalangan bawah. Hanya
saja mereka mempunyai simplifikasi tertentu yang membuat mereka dapat
berkomunikasi dengan komunitasnya. Nurcholish Madjid misalnya, ia lebih dekat
dengan kaum intelektual, begitu juga Amien Rais, di samping ia memiliki basis
konstuennnya di kalangan Muhammadiyah. Hal serupa juga tidak kalah reputasinaya
dengan ketokohan Abdurrahman Wahid dan Jaluluddin Rahmat. Dari keempat tokoh
itu, dua di antaranya sudah kembali kepada Sang Pencipta, ialah Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Tulisan ini akan sedikit mendeskripsikan tentang pemikiran keislaman dari
keempat tokoh tersebut ketika semasa masih hidupnya. Keempatnya sama-sama
memiliki keunikan, gaya dan karakter yang khas. Beberapa hasil penelitian
disebutkan bahwa dari keempat tokoh ini masing-masing mempunyai gaya penyapaian
pesan yang berbeda-beda dalam menyapa umatnya.
A.
Sketsa Biografi
<p>1. Amien Rais</p>Sebagai seorang tokoh muslim,
Amien cenderung apresiatif terhadap masalah-masalah politik. Meskipun demikian,
ia tidak lupa dengan komitmennya dengan ajaran agama yang puritan. Bahkan
hampir tidak ada celah-celah kehidupan ini yang tidak dikaitkan dengan nilai
agama. Karena agama merupakan landasan yang amat fundamental, menyeluruh dan
bukan sepotong-potong. Dalam sebuah pernyataannya ia pernah melontarkan sebuah
keyakinan bahwa "jangan dilupakan bahwa tauhid juga menuntut ditegakkannya
keadilan sosial, kerena dilihat dari kacamata tauhid, setiap segala eksploitasi
manusia atas manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia
di depan Allah. Secara demikian jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya
dan lapisan miskin yang selalu disertai kehidupan eksploitatif merupakan
fenomena yang tidak tauhid, bahkan anti-tauhid". Pernyataan Amien ini
dilontarkan, ketika ia mengkritik keras kasus busang di Kalimantan Timur.
Menurut keyakinannya, bahwa skandal busang merupakan bentuk eksploitatif yang
tersistematis.
Amien Rais dilahirkan di Solo 26 April 1944, putra pasangan Suhut Rais dan
Suhaimiyah. Sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah
dan kultur pendidikan. Ayahnya adalah aktivis Muhammadiyah sekaligus Kepala
Pendidikan Agama Wilayah Surakarta. Begitu juga dengan ibunya, ia mengajar di Sekolah
Guru Taman Kanak-kanak (SGKP) Muhammadiyah. Jadi, kehidupan Amin betul-betul
terbentuk dalam kultur pendidikan.
Sebagai putra aktivis Muhammadiyah, Amien memperoleh warisan budaya dari
orangtuanya. Sejak pendidikan TK sampai SMA, ia sekolah di lingkungan
Muhammadiyah. Semula, orangtuanya bercita-cita supaya Amin menjadi kiai atau
ustad. Karena itu, sejak kecil ibunya selalu membangunkan sebelum waktu subuh
untuk membaca al-Qur'an setiap hari dan melarang meninggalkan shalat.
Warisan dari orangtuanya itu ternyata terjiwai dengan sepenuh hati. Dengan
penuh kesadaran, Amin gemar melakukan ibadah. Sikap kesadaran itu
menumbuhkannya pada sikap kritis terhadap segala persoalan, yang semuanya itu
termasuk bagian dari ibadah.
Setamat SMA Muhammadiyah di Solo, Amien kemudian melanjutkan kuliah ke
Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol), UGM, Yogyakarta pada 1962. Masuk
Jurusan Ilmu Politik, diakui Amien memang bukanlah cita-cita yang diniatkan
semula. Sebab sebagaimana yang sudah disinggung semula, sejak kecil ibunya
sudah menanamkan doktrin agar supaya saat kuliah ke Al- Azhar. Tetapi, seperti
sudah diakui Amien sendiri, bahwa masuk ke UGM merupakan takdir. Di samping di
UGM, Amien merangkap di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan memperoleh gelar
Sarjana Muda tahun 1967. Sedangkan pada 1968 Amien menamatkan di Universitas
bergengsi itu. Sejak itu pula ia kemudian mendaftarkan diri sebagai tenaga
edukatif pada almamaternya.
2. Nurcholish Madjid
Sebagai tokoh intelektual, Nurcholish Madjid (Cak Nur) memiliki pemahaman
keagamaan yang terbuka. Ia selalu mengembangkan proses keagamaan itu sebagai
pembebasan. Yakni membebaskan diri dari segala kekuatan tirani yang membelenggu
kebebasan kita. Pada usianya yang muda ia sudah mengguncang wacana pemikiran
Islam di tanah air. Berangkatdari dunia pesantrenyangtradisional ia justru
menyadarkan masyarakat Indonesia modern akan pentingnya keberanian menyuarakan
moralitas politik. Dan, belakangan ia menganggap berpolitik tidak mungkin tanpa
keberanian, kejujuran dan keikhlasan untuk selalu menerima kritikan dari mana
pun.
Cak Nur dilahirkan di Mojoanyar-Jombang pada 17 Maret 1939 bertepatan
dengan 26 Muharram 1358 H. Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya
bernama Abdul Madjid, seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang.
Ayahnya murid pendiri NU yang kharismatik itu. Lebih dari itu, ayahnya
dinikahkan dengan Halimah, seorang wanita keponakan gurunya.
Sketsa singkat latar belakang Cak Nur cukuplah untuk menunjukkan bahwa ia
lahir dari subkultur pesantren. Cak Nur mengakui bahwa ia pertama kali beragama
lewat ayah dan ibunya sendiri. Kebetulan mereka berdua memang mendirikan
Madrasah sendiri pada tahun 1948 dan Cak Nur adalah salah seorang muridnya.
Selain itu, ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya.
Selanjutnya, setamat SR 1952 ia di masukkan ayahnya ke pesantren Darul
Ulum, Rejoso Jombang. Namun, di Darul Ulum Cak Nur hanya bertahan selama dua
tahun dan sempat menyelesaikan tingkat Ibtidaiyah, lalu melanjutkan ke tingkat
Tsanawiyah. Ada dua alasan, yang menurut Cak Nur, mengapa ia hanya bertahan dua
tahun nyatri di sana. Pertama, karena kesehatan dan Kedua, karena ideologi atau
politik.
Namun, tampaknya alasan politiklah yang agaknya cukup menarik melihat sikap
Cak Nur tersebut. Seperti kita tahu, pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan
sejak itu NU barubah peran dari jam'iyah keagamaan menjadi partai politik. Ayah
Cak Nur secara bersamaan aktif di organisasi tradisional Islam NU berpisah
secara politis dengan Masyumi tahun 1952, ayahnya tetap memilih Masyumi dan
mengirim anaknya dari pesantren tradisional ke sekolah modern yang masyhur
Gontor. Saat itu, ayah Cak Nur yang kebetulan aktivis berat Masyumi merasa
‘kecewa' kepada NU ketika organisasi itu keluar dari Masyumi dan membentuk
partai politiknya sendiri. Karena ulah sang ayah inilah, Cak Nur sering diledek
teman-temannya yang NU sebagai "anak Masyumi kesasar".
Cak Nur mengakui bahwa di gontor ia selalu meraih prestasi yang cukup baik.
Dan kecerdasan Cak Nur ini rupanya ditangkap pula oleh Pimpinan Pesantren KH.
Zarkasyi. Sehingga pada 1960, ketika Cak Nur menamatkan belajarnya, sang guru
bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Tetapi karena Kairo
pada wakti itu sedang terjadi krisis Terusan Suez yang cukup kontroversial itu,
keberangkatan Cak Nur sampai tertunda. Sambil menunggu keberangkatannya ke
Mesir itulah, Cak Nur memanfaatkan untuk mengajar di Gontor selama satu tahun.
Namun, waktu yang ditunggu-tunggu Cak Nur untuk berangkat ke Mesir ternyata tak
kunjung tiba.
Pernah terbetik berita bahwa kala itu di Mesir memperoleh visa, sehingga
tidak memungkinkan Cak Nur pergi ke Mesir. Cak Nur sendiri, memang sempat kecewa.
Tapi, pak Zarkasyi bisa ‘menghibur'nya dan rupanya tak kehilangan akal. Lalu ia
mengirim surat ke IAIN Jakarta dan meminta agar murid kesayangannya bisa
diterima di lembaga pendidikan tinggi Islam bergengsi itu. Maka berangkat dari
salah satu alumni santri Gontor yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Cak Nur kemudian diterima sebagai mahasiswa di sana, meskipun tanpa menyandang
izajah negeri.
3. Abdurrahman Wahid
Sebagai cucu pendiri NU, Abdurrahman wahid (Gus Dur) memiliki legitemasi
yang sangat kuat dari kalangan Nahdhiyin. Sosok pemikirannya sulit diterka dan
dijangkau oleh manusia biasa. Dalam perjalanan kiprahnya, Gus Dur lebih dekat
pada kaum termarginal dan kultural. Ia lebih terhibur dengan kelompok yang
selama ini terpinggirkan oleh deru mesin pemerintahan. Gagasan yang sempat
mencuat pada tahun 70-an Gus Dur adalah seorang penganut Humanisme.
Gagasan-gagasan yang digelindingkan adalah seputar wacana Kiri Islam.
Meskipun berangkat dari alam tradisonal, ia memiliki informasi yang cukup luas.
Dibandingkan dengan tokoh yang lain, Gus Dur mempunyai karakter yang agak
controversial dan nyeleneh di pentas politik Indonesia.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar-Jombang 12 Agustus 1940, putra pasangan K.H.
Wahid Hasyim. Meskipun sebagai putra Mentri Agama (1950), ia tidak merasa
termanjakan dengan jabatan ayahnya. Justru, ia memilih tinggal bersama kakeknya
(Bisri Syamsuri) di Jombang.
Gus Dur mempunyai kegemaran malahap buku-buku, dari buku yang bernafas
agama sampai buku filsafat. Di samping itu, hobi yang sangat disenangi
diantaranya adalah seni, olah raga dan musik. Tak heran kalau Gus Dur sering
melespakan job-job segar yang membuat orang tertawa.
Pendidikan yang pernah dikenyak Gus Dur mulai dari pesantren (Denanyar dan
Tegalrejo), SMEP Yogyakarta, sampai ke Al -Azhar Mesir. Di mesir, Gus Dur
mengambil spesialisasi bidang Syari'ah. Namun setelah tujuh tahun belajar,
ternyataia merasa tak betah belajar di Mesir. Sebab menurutnya materi yang
diajarkan di sana tak ubahnya ibarat pesantren. Di sana, ia lebih menyempatkan
diri untuk membawa buku diperpustakaan di Kairo. Sedang waktu selebihnya,
dimanfaatkan untuk nonton film yang bagus. Meski demikian, bagi Gus Dur belajar
di Mesir bukan tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh
paham "sosialisme yang berbudaya". Orang-orang Arab, menurut Gus Dur,
sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya. Hal itu dilakukan karena
mereka tak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama.
Merasa tak betah belajar di Mesir, Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti
kuliah di Universitas Bagdad, Fakultas Sastra. Di Universitas tersebut, Gus Dur
merasakan kepuasan dan dapat mengoleksi referensi buku yang lebih lengkap.
Dari literatur itulah, Gus Dur kemudian mengapresiasikan ide-ide yang
bercorak sosialisme dan marxisme. Sewaktu ia mengaku sudah membaca karya cukup
radikal seperti Pemberontakan Petani. Berangkat dari pemehaman inilah Gus Dur
berkeyakinan bahwa sosialisme lebih bertolak pada visi budaya daripada
ideologis. Tak heran, karena apresiasi yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran
sosilisme radikal, ia berpandangan itu merupakan perangkat analisis yang
penting guna memahami keadaan.
4. Jalaluddin Rahmat
Indonesia memiliki karakteristik tokoh yang cukup heterogen, di antara sekian
dari heterogenitas itu seperti yang nampak pada kefiguran Jalaluddin Rahmat.
Pakar ilmu kamunikasi ini mempunyai kepiawiaan dalam bidang sufistik, di
samping ia berpengaruh pada paham Syi'ah. Esei-esei tentang wacana
spiritualitas amat kerap muncul, baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas,
seperti di jurnal, majalah, koran dan sebaginya.
Jalaluddin Rahmat yang biasa dipanggil Kang Jalal, dilahirkan di
Bojongsalam-Bandung pada 29 Agustus 1949. Sejak kecil sampai usia remaja ia
tinggal di sana. Kang Jalal hanya memperoleh sentuhan belas kasih ibu
(Sadja'ah) seorang, karena sang ayah telah meninggalkan Bandung ke Pulau
Sumatera lantaran perjuangan sebagai aktivis Masyumi.
Pada usia yang relatif kecil, Kang Jalal sudah dapat menguasai bahasa arab
di pesantren NU asuhan kiai Shidik. Di pesantren inilah Kang Jalal dididik oleh
kiainya sampai bisa hafal Alfiyah Ubnu Malik. Bukan cuma itu, Shidik juga
diakui Kang Jalal bersifat "liberal". Semula ia NU, lalu berubah
menjadi Muhammadiyah dan berkiblat politik ke Masyumi. Sikap non-sektarian,
dalam pengertian terbuka terhadap pelbagai mazhab dan sikap menghormati
perbedaan pendapat yang akhir-akhir ini dikembangkan Jalal, barangkali tak lain
merupakan jejak warisan yang diperoleh dari gurunya.
Setamat SD, Kang Jalal meninggalkan gurunya di kampung untuk mengadu nasip
di Bandung. Di kota "Paris Van Java" ini, ia tinggal bersama Uwaknya.
Tinggal di tempat orangtua ini, membuat Kang Jalal harus mebiasakan diri untuk
hidup prihatin. Di sela-sela sekolah di SMP 3 Muslimin, Kang Jalal masih
mencoba berjualan koran diseputar alun-alun Bandung. Tetapi karena keprihatinan
itulah membuat Jalal rajin belajar, sehingga prestasinya tergolong baik di
sekolah. Sejak di SMP ia selalu menjadi juara kelas. Dengan kepinteranya itulah
Kang Jalal mendapat dipensasi uang sekolah.
Menginjak bangku SMA, kegemaran intelektual Kang Jalal semakin merambah
cepet dan kegelisahannya sebagai anak muda yang selalu bertanya semakin kental.
Kebetulan di SMA ia mempunyai teman diskusi yang cerdas bernama Helman. Dari
hasil diskusi bersama Helma Kang Jalal disarankan untuk banyak membaca buku.
Atas saran itu, timbullah semangat Kang Jalal untuk melahap buku-buku, dan buku
yang sangat disenangi kala itu adalah buku Ihya Ulumuddin karya masterpiece Iman
Al- Ghazali. Dari hasil bacaannya, ia memperoleh kesadaran baru yang selama ini
belum terpikirkan. Bahkan dalam penuturannya, ia mengaku dalam dirinya seakan
tengah bergolak semacam krisis intelektual dan spiritual yang benar-benar telah
mengguncang penghayatannya dalam keberagamaan.
Dalam periode krisis itu, ia mengambil cara keluar dari sekolah lalu
menerjunkan diri ditengah dunia pesantren. Waktu itu, ia perbandangan sekolah
adalah pekerjaan sis-sia. Karenaanya ia memutuskan untuk belajar di pesantren dan
hengkan dari sekolah. Walaupun demikian, Kang Jalal tetap bisa menyelesaikan
sekolah SMA-nya. Sesudah tamat dari SMA Kang Jalal melanjutkan studinya di
Fakultas Publisistik, Unpad yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ilmu
Komunikasi itu.
Di samping sebagai mahasiswa, ia menyempatkan waktunya untuk mencari
tambahan biaya hidup. Selain itu, ia tetap mendalami ilmu-ilmu agama dalam
aktivitas organisasi keagamaan. Dengan berbekal ilmu pesantren Persis, Kang
Jalal dapat mengembangkan diskusi di kalangan muda persis.
Setelah sempat aktif di Persis, Kang Jalal merambah lagi ke Muhammadiyah,
dengan alasan bahwa Persis dan Muhammadiyah memiliki persamaan doktrinal. Di
situlah Kang Jalal mengikuti proses-proses pengkaderan Muhammadiyah (Darul
Arqom ). Sebagai kader muda Muhammadiyah, Kang Jalal sangat berani berdakwah di
kalangan NU tentang visi dan misi Muhammadiyah. Tak heran kalau ia merasa
sangat bahagia ketika masjid Jami' dikampungnya menurunkan beduk dan
menghilangkan azan awal pada hari jum'at.
Kehadiran sosok ‘baru' Kang Jalal dikampungnya, bukan saja menimbulkan
konflik dengan masyarakat sekitar yang mayoritas NU, melainkan sempat juga
memancing ketegangan di antara anggota keluarganya. Salah seorang saudara yang
dekat dengan Jalal (H. odang) menuturkan bahwa dirinya sering bertengkar di
tengah keluarga dengan lajal lantaran perbedaan paham. H. Odang yang berpaham
NU, merasa terganggu atas kehadiran Kang Jalal dikampungnya.
Untuk menghindari konflik supaya tidak berlarut-larut, akhirnya keduanya sepakat
membangun masjid masing-masing. Atas keberhasilan Kang Jalal, maka Muhammadiyah
meminta dirinya untuk aktif bergabung dalam bidang Majelis pendidikan,
pengajaran dan Kebudayaan (MPPK) Muhammadiyah daerah Kodya Bandung dan Majelis
Tabligh Muhammadiyah wilayah Jawa Barat. Semua keberhasilan itu, Kang Jalal
telah didukung dengan retorika yang sangat memukau dan ilustrasi yang menarik
orang.
Dalam beberapa dekade terakhir, apalagi dengan ditandai maraknya penerbitan
buku-buku keislaman, perkembangan pemikiran Islam di tanah air -mayoritas
bermazhab Sunni- juga telah ikut diramaikan perkembangan pemikiran Islam
bermazhab Syi'ah. Berbagai kelompok pengajian yang dinilai berorientasi Syi'ah
pun banyak bermunculan di kaota besar di atanah air. Tak heran konflik antar
mazhab pun terjadang menjadi kekhawatiran umat Islam yangtidak begitu terikat
oleh sesuatu mazhab atau barangkali yang tidak begitu merisaukan.
Sebenarnya, awal apresiasi Kang Jalal kepada pemikir dari Iran yang
notabene bermazhab Syi'ah setelah persentuhannya dengan buku-buku Iran yang
dimulai ketika bersama Bagir dari ITB, dan K.H. Endang Saifuddin Anshary, MA.
Ia diundang sebagai pada sebuah konperensi Islam di Kolombo, pada 1984. Dari
situlah menurut Kang Jalal, ia memperoleh buku-buku Syi'ah.
B. Fokus Wacana Pemikiran
Wacana pemikiran Islam setidaknya bisa dipahami sebagai warisan budaya
politik dan benturan endapan pribadi dengan kondisi struktural yang melingkupi
biografi hidupnya. Kenangan masa lalu, gejolak masa kini dan harapan masa depan
yang dibayangkan adalah jalan menuju pemahaman tekstual yang lebih mendalam
dari sebuah arus atau gejolak pemikiran.
Meskipn keempat intelektual muslim di sini memiliki persamaan dalam
mengagendakan tema-tema keislaman yang relevan dalam konteks perkembangan
mutakhir, namun dalam beberapa hal mereka juga memiliki kecenderungan yang
berbeda dalam hal titik berat pesannya. Hal ini beralasan mengingat latar
belakang sosial, pendidikan, pengalaman, karakteristik dari masing-masing
personal yang masing-masing memang berbeda.
1. Amien Rais
Amien adalah sosok yang sangat apresiatif terhadap pemikiran Islam puritan
dari tokoh-tokoh ikhwan al- Muslimun dan jema'at al-Islami, dan pemikiran kaum
modernis awal yang secara teologis dan ritual mempengaruhi Muhammadiyah. Di
samping itu, ia juga minat dibidang politik nasional dan internasional,
merupakan titik berat kajian Amien. Berbagai pengamatan Amien yang intens
mengenal pelbagai persoalan politik ditingkat internasional, khusunya Timur
Tengah, merupakan bidang keahlian yang menonjol.
Dalam bidang pemikiran Islam, visi Amien merupakan counter terhadap gagasan
modernisasi, sekulerisasi, dan liberalisasi. Bagi Amien, sikap yang demikian
merupakan suatu "ancaman" yang harus diwaspadai oleh kaum muslim.
Soalnya, sekulerisasi menurut Amien sesuatu yangtidak bisa dikompromikan dengan
agama.
Sikap Amien yang kritis terhadap sesuatu yang ‘berbau' Barat mungkin bisa
dipahami, mengingat pandangan-pandangan keislamannya yang serba alternatif.
Kritik-kritik terhadap pahan leiberalisme dan sosialisme-marxisme dengan pisau
analisis Islam, menempatkan posisi pada kelompok pembaruan Islamisasi. Titik
berat pesan Amien dalam pembaruan adalah, bagaimana realitas dan pembaruan
sosial ditundukkan oleh agama. Dan puncak segala sesuatu itu, bergantung pada
semangat tauhid sebagai inti ajaran. Dalam usaha menundukkan realitas lewat
syari'at inilah Amien menganjurkan untukbersikap kritis terhadap khurafat dan
bid'ah tradsi dan nilai modern yang ‘jahili'. Laulu ia menawarkan tajdidi yang
memang khas Muhammadiyah yaitu mengembalikan persoalan kepada al-Qur'an dan
Sunnah.
Hal lain yang menjadi penekanan Amien ialah terhadap masalah keadilan
sosial, Ijtihad Amien yang tergolong cukup berani ialah saat menawarkan zakat
profesi sebesar 20 persen. Gagasan ini, tentu saja dilatarbelakangi ooleh
komitmen Amien untuk selalu bersikap kritis terhadap masalah ketimpangan yang
menggejala dikalangan umat Islam. Visi ini amat mempengaruhi pemikiran Amien
untuk selalu bersikap kritis terhadap Muhammadiyah yang dewasa ini dipandang
mandek.
2. Nurcholis Madjd
Secara disipliner, Cak Nur lebih menitik beratkan pada kajian filsafat
Islam dan sosiologi modern (Barat), disamping giat mengakses kembali tradisi
klasik Islam. Gagasan Cak Nur dalam pemikiran Islam menginginkan adanya
persambungan Islam dengan kemoderenan. Umat Islam harus apresiatif terhadap
kemoderenan.
Sementara itu, ia menganjurkan umat Islam agar memiliki respons terhadap
Barat. Dengan melihat kenyataan sebenarnya seperti; Etos kerja, hasil ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta peradabannya sekaligus. Bertolak dari idenya
itu, ia menganjurkan supaya umat Islam dapat mengawinkan metodologi studi Islam
klasik dengan studi Islam modern.
Gagasan ini mulai mantap ketika ia pulang dari Chicago dan memperoleh
doktor dibidang filsafat Islam. Gagasan itu juga ditunjang berdasarkan sejumlah
studi Islam klasik, sehingga kemoderenan diberi makna baru, dalam pengertian
bahwa kemoderenan bukan lagi lawan tradisionalisme yang, dalam batang tubuh
umat Islam, selalu dinisbatkan kepada pesantren. Kemoderenan menurut Cak Nur
dipahami sebagai persambungan antara visi lama dengan visi baru.
3. Abdurrahman Wahid
Semenjak pulang dari Mesir, Gus Dur langsung terjun ke dunia pesantren,
karena gagasan-gagasan awalnya ia berasal dari pesantren. Usaha
memodernisasikan pesantren melalui berbagai kerjasama baik dengan pemerintah
dan lembaga swadaya masyarakat merupakan garapan utama dan pertama Gus Dur. Di
samping itu, ia mempunyai komitmen terhadap gagasan pengembangan masyarakat.
Tranformasi sosio-kultural bagi kalangan masyarakat bawah adalah obsesi
yang demikain kental mewarnai berbagai pemikiran Gus Dur. Usahanya dalam
membentuk BPR NU bekerjasama dengan Nusuma dan keterlibatannya diberbagai forum
LSM, dalam dan luar negeri.
Sementara itu, Gus Dur dalam memandang realitas selalu mengaitkan dengan
fiqh. Karenanya ia menampung segala persoalan dipecahkan melalui jalan
kefiqhian bukan teologis. Salah satu keperpihakan Gus Dur adalah ia dekat
dengan kaum pinggiran yang secara budaya adalah masyarakat tradisonal.
4. Jalaluddin rahmat
Jalaludin Rahmat menawarkan visi Islam yang menekankan pesan pada dimensi
sosialnya. Selama ini umumnya visi Umat Islam lebih berdimensi ritual.
Penghayatan semacam ini dinilai telah ikut mereduksi Islam dalam urusan sosial.
Padahal, masalah sosial jauh lebih diperhatikan al-qur'an dan sunnah daripada
yang ritual. Salah satu pemikirannya tentan Islam Aktual yang sekaligus
merupakan salah satu judul bukunya yang datang belakangan menunjukkan adanga
persambungan dan perkembangan visi Islam dalam dimensi sosial tadi.
Keperpihakan Jalal terhadap mustadh'afin merupakan salah satu visi
keislamannya. Gagasan ini cukup sentral dan semakin kental, apalagi
justifikasinya terhadap ide ini ditunjang oleh studi Islam Klasik yang cukup
luas. Namun, harus segera ditambahkan, bahwa ide sentralnya bagi pemihakan
terhadap mustadh'afin ini masih baru pada batas konseptual.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
sumber :
REPUBLIKA.CO.ID, -- Kerukunan internal umat seagama, Islam terutama,
merupakan hal paling mendasar. Stabilitas kerukunan tersebut menjadi kunci bagi
kerukunan secara nasional. Apalagi, menjelang Pemilu 2014.Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Utang Ranuwijaya menyatakan, sebagai negara dengan mayoritas Islam, keharmonisan Indonesia bergantung dengan sikap umat Islam Indonesia.
Karena, dalam Islam pun dikenal persaudaraan internal ukhuwah Islamiyah terlebih dahulu, menyusul kemudian persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah), berikutnya persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). “Ukhuwah Islamiyah menjadi dasar ukhuwah lainnya.”
Utang menganggap ketidakharmonisan ukhuwah Islamiyah yang sering terjadi di akar rumput karena perbedaan mazhab dan perbedaan furu'iyah lain.
Ia menilai, ada persoalan komunikasi yang kurang baik disampaikan berbagai pihak di akar rumput terkait perbedaan khilafiyah ini.
Sehingga, masyarakat di akar rumput sering kali terprovokasi untuk memperkeruh suasana hanya karena perbedaan khilafiyah. “Ini yang kurang disadari,” ujarnya.
Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud menilai, hilangnya kesadaran para tokoh Islam menghargai permasalahan khilafiyah membuat intoleransi semakin rentan pada tahun politik 2014.
Dia mengungkapkan, dahulu wali dan para pendakwah berjualan sesuatu untuk agama, yang dirasakan adalah kedamaian.
Sekarang, sering kali yang terjadi tokoh Islam menjual agama untuk sesuatu, kursi atau jabatan, hasilnya konflik. “Serbaterbalik,” ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, dahulu tokoh Islam berbisnis sambil mengislamkan orang, tapi saat ini tokoh Islam berbisnis politik, tapi malah mengafirkan sesama Muslim, karena perbedaan khilafiyah.
Karenanya, pada tahun politik ini penting sesama tokoh dan pimpinan ormas Islam jangan sampai membuat sesama Muslim saling mengafirkan demi kepentingan sesaat.
Sedangkan, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir meminta peran tokoh agama dan ormas keagamaan penting dalam meredam konflik horizontal, terutama menjelang politik 2014.
Hanya dari tokoh agama dan ormas keagamaan yang bisa menjalankan fungsinya sebagai peredam konflik di tengah masyarakat. Ormas keagamaan juga berperan serta mendorong perdamaian serta kerja sama antarumat beragama.
Haidar yakin, solusi terbaik untuk mengantisipasi konflik keagamaan apakah karena perbedaan khilafiyah atau akidah, hanya melalui jalan dialog. Dialog yang terjadi pun harus berkualitas dilakukan secara sadar dan tulus serta bedampak efektif di akar rumput.
Setiap ada permasalahan keagamaan yang berprinsip dakwah, tidak bisa hanya dilakukan pendekatan hukum semata, tapi juga mendorong diri untuk saling menahan diri serta tidak mengedepankan anarkisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar